Laman

Sabtu, 01 Juni 2013

Hari Lahir Pancasila



 

Sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama, Di manakah Pancasila kini berada?
Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.
Amnesia nasional tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.


Enam puluh delapan tahun lalu pada 1 Juni 1945, untuk pertama kalinya bapak pendiri bangsa, Sukarno, menyampaikan pidato yang berisi rumusan lima butir Pancasila. Kelima butir tersebut kemudian dirumuskan menjadi dasar negara Indonesia.

.

Sepuluh tahun kemudian, pada pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, Bung Karno menyampaikan pemikirannya tentang Pancasila di depan para kepala negara. "Pancasila telah menginspirasi bangsa lain, ini adalah prestasi sejarah kita, dan kita harus bangga,". Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.

Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.

Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian?  Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.
Reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti Pancasila" . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism.

Oleh karena itu kita boleh  gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut. Empat pilar bernegara yang kadang rakyat tidak tahu apa makna yang terkandung dalam manuskrip besar identitas bangsa ini.

Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara. Meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.

Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bahwa pancasila adalah sumbangsih bangsa ini kepada dunia. "Karena itu kita harus bangga sebagai bangsa yang melahirkan “Pancasila”.

Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2013 saat ini, apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah.

Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk.

Dasar filofosis maha kuat mempertautkan bangsa yang bhineka ini ke dalam keikaan yang kokoh. Berbagai suku bangsa kebudayaan, aneka agama dan kepercayaan, serta variasi kelas sosial yang tinggi, diharuskan menemukan cara yang adil dan berkeadaban sekaligus fondasi yang solid dalam mengelola kemajemukan. Dari sudut politik dan etis, penemuan metode dan fondasi di atas menjadi penting agar diversitas yang menjadi nature bangsa ini dapat menjadi alasan dan kekuatan untuk hidup bersama secara harmonis, dan bukan sebaliknya

Di atas Pancasila rumah besar bagi setiap anak negeri telah dibangun. Di atas Pancasila, kewarga-negaraan sebagai prinsip dalam pengelolaan politik kenegaraan ditegakkan. Hidup sebagai suatu bangsa yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, hidup sejahtera, dan aman.

Di Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2013, saya mengenang kembali kepada bpk Taufiq Kiemas yang mengingatkan tentang intisari Pancasila yang memiliki akar kuat dalam sejarah Indonesia. Nilai tersebut telah melekat dan dekat dengan subjektifitas peradaban dan waktu di tanah air. Karena itu, ia mengharapkan, pesan moral tersebut tidak hilang. Taufiq Kiemas berharap siapapun yang menggantikannya tidak lupa dengan dasar negara yakni “Pancasila”. 
 

Tanpa Rakyat Tak Berarti Apa-apa Itulah judul buku Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati Soekarnoputri, yang diluncurkan pada saat merayakan ulang tahunnya ke-60. Sebuah buku yang ditulisnya sendiri. sungguh luar biasa kata-kata yang terdapat dalam buku tersebut

Buku yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan dan Panitia Penerbitan Buku 60 Tahun Taufiq Kiemas dengan editor Panda Nababan ini terdiri 4 bab 832 halaman. Berisi pokok-pokok pikiran Taufiq Kiemas dan pandangan cendekiawan, kerabat, dan sahabat, bahkan lawan politiknya. Benang merah pemikirannya berujung pada asas kerakyatan.

Perhatian besar Taufiq Kiemas terhadap kehidupan rakyat kecil dituangkan pada halaman 16-17. "Tanpa dukungan rakyat, aku tidak akan jadi seperti sekarang ini," kata Taufiq. Dia memberi contoh perjuangannya terhadap kehidupan rakyat kecil, yaitu, bersama beberapa kawannya Aktivis GMNI, memelopori pembentukan koperasi tukang becak.Mula-mula mereka menangani langsung manajemen koperasi dan bengkel becak itu. Tapi, setelah jalan, diserahkan kepada para tukang becak sendiri.

Buku ini juga mengisahkan penangkapan Taufiq Kiemas dan puluhan Aktivis GMNI Palembang pasca-tragedi 1965. Juga mengukir kisah asmaranya dengan Megawati. Juga perihal pendampingannya selama Megawati dalam perjalanan panjang kehidupannya dalam dunia politik. Antara lain saat naiknya Megawati ke puncak kekuasaan, menyusul lengsernya KH Abdurrachman Wahid sebagai Presiden RI pada pertengahan 2001.

Setelah reformasi, peran dan pengaruh Taufiq sangat signifikan dalam menentukan arah dan peta perpolitikan di Indonesia. Bukan semata-mata karena statusnya sebagai suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, tapi juga karena posisinya yang cukup sentral sebagai Ketua Dewan Pertimbangan DPP PDI Perjuangan. Dia piawai memainkan perannya sebagai aktor politik, lewat berbagai manuvernya yang telah mewarnai kanvas perpolitikan negeri ini


Kini bapak empat pilar ini telah tiada,Taufiq Kiemas meninggal dunia di Singapura pada tanggal 8 Juni 2013 pukul 19.05 waktu setempat atau 18.05 WIB. Taufiq dirawat di salah satu rumah sakit di Negeri Singa itu akibat kelelahan setelah menjalankan tugas Negara pada 1 Juni 2013 di Ende, Nusa Tenggara Timur, dalam rangka memperingati kelahiran Pancasila. Seorang tokoh yang bijaksana,yang dekat dengan rakyat, dan paling di hormati dengan rakyat kini hanya bisa kita mengenangnya. Selamat jalan pak taufik kemas. Kami semua menghormatimu dan merasakan kehilangan yang sangat. Semoga engkau berada di surga dan berkumpul dengan orang-orang yang sholeh di sana.


Artikel hari lahirnya Pancasila saya persembahkan kepada Pak Taufiq Kiemas yang sudah berjasa kepada Bangsa Indonesia dengan rumusan Empat Pilar Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sangat kehilangan  putra terbaiknya. Dari lubuk hati yg terdalam, saya ucapkan selamat jalan Pak Taufik Kiemas.

ol

Sabtu, 09 Februari 2013

HPN

Monumen Pers Nasional


Sejarah Pers Indonesia 
Pers Indonesia dimulai Sejak dibentuknya Kantor berita ANTARA didirikan tanggal 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 agustus 1945.
Kantor berita Antara didirikan oleh Soemanang saat usia 29 tahun, A.M. Sipahoentar saat usia 23 tahun, Adam Malik saat berusia 20 tahun dan Pandu Kartawiguna.Adam Malik pada usia 21 tahun diminta untuk mengambil alih sebagai pimpinan ANTARA, dikemudian hari Ia menjadi orang penting dalam memberitakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Karena kredibilitasnya, Adam Malik setelah menduduki jabatan semula sebagai ketua Kantor berita Antara, ia diangkat sebagai Menteri Perdagangan, Duta Besar, Menteri Utama Bidang Politik, Menteri Luar Negeri, Presiden Sidang Majelis Umum PBB, Ketua DPR/MPR dan Wakil Presiden.
KEMERDEKAAN PERS
Kemerdekaan pers dalam arti luas adalah pengungkapan kebebasan berpendapat secara kolektif dari hak berpendapat secara individu yang diterima sebagai hak asasi manusia.Masyarakat demokratis dibangun atas dasar konsepsi kedaulatan rakyat, dan keinginan-keinginan pada masyarakat demokratis itu ditentukan oleh opini publik yang dinyatakan secara terbuka. Hak publik untuk tahu inilah inti dari kemerdekaan pers, sedangkan wartawan profesional, penulis, dan produsen hanya pelaksanaan langsung. Tidak adanya kemerdekaan pers ini berarti tidak adanya Hak Asasi Manusia (HAM).
Pembahasan RUU pers terakhir 1998 dan awal 1999 yang kemudian menjadi UU no. 40 Tahun 1999 tentang pers sangat gencar.Independensi pers, dalam arti jangan ada lagi campur tangan birokrasi terhadap pembinaan dan pengembangan kehidupan pers nasional juga diperjuangkan oleh kalangan pers. Komitmen seperti itu sudah diuslukan sejak pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI ) tahun 1946. Pada saat pembahasan RUU pers itu di DPR-RI, kalangan pers dengan gigih memperjuangkan independensi pers. Hasil perjuangan itu memang tercapai dengan bulatnya pendirian sehingga muncul jargon “biarkanlah pers mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi campur tangan birokrasi”. Aktualisasi keberhasilan perjuangan itu adalah dibentuknya Dewan Pers yang independen sebagaimana ditetapkan dalam UUD No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Kemerdekaan pers berasal dari kedaulatan rakyat dan digunakan sebagai perisai bagi rakyat dari ancaman pelanggaran HAM oleh kesewenang-wenangan kekuasaan atau uang. Dengan kemerdekaan pers terjadilah chek and balance dalam kehidupan bangsa dan bernegara. Kemerdekaan pers berhasil diraih, karena keberhasilan reformasi yang mengakhiri kekuasan rezim Orde Baru pada tahun 1998.

 Ada 2 pengertian tentang pers, yaitu sbb :
1. Dalam arti sempit : Pers adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran, majalah, tabloid, dan buletin-buletin pada kantor berita.
2. Dalam arti luas : Pers mencakup semua media komunikasi, yaitu media cetak, media audio visual, dan media elektronik. Contohnya radio, televisi, film, internet, dsb.
PERKEMBANGAN  PERS DI  INDONESIA

Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu pers Kolonial, pers Cina, dan pers Nasional. Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda. 
Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina. Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers Nasional.

Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. 
Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sbb :
- Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.
- Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.
- Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.
- Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.
- Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini

Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat. 
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara. 
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.

Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.

Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.

Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung jawab sosial. 
Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya.  Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat. 
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan.

Gelombang reformasi 1998 berhasil membawa sejumlah perubahan signifikan di negara ini, termasuk kebebasan pers. Perusahaan pers pun bertumbuhan seiring dibukanya kran kebebasan. Tapi sampai 14 tahun sejak gelombang reformasi bergulir, ternyata pers Indonesia belum merdeka.
Fenomena saat ini  konten pers mulai diintervensi pemilik media. “Sangat terlihat, terutama pada media televisi. Bagaimana stasiun televisi tertentu yang menggunakan frekwensi publik, memasukkan kepentingan politiknya untuk membentuk persepsi tertentu pada publik”.
Ini yang menurut saya harus dibatasi. Pemilik media tidak boleh, atau setidaknya dibatasi memasukkan muatan yang berkaitan dengan kepentingan politiknya karena menggunakan frekwensi publik.
Cara lain intervensi pemilik media yang membatasi kemerdekaan pers, juga bisa dilakukan dengan mekanisme seleksi berita pada redaksi. “Kalau konten pemberitaan terkait negatif dengan pemilik media, tidak dimuat. Atau kalau terlanjur dimuat, mendapat teguran dan hukuman dari atasan.
Inilah diantara penyebab yang diyakini dapat membuat Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia turun, dari 146 pada tahun 2011 menjadi 117 pada tahun 2012. Peringkat ini dirilis World Press Freedom Index 2012 yang dikeluarkan oleh Reporters Without Borders.

Selamat Hari Pers Nasional (HPN), yang jatuh pada 9 Februari 2013. Dalam iklim Demokrasi kini, opini publik sangat menentukan arah perubahan dan pers menjadi diantara alat yang efektif.

ol

Selasa, 15 Januari 2013

Menpora Baru


http://statik.tempo.co/?id=161740&width=620
Prosesi Pelantikan Roy Suryo

Tokoh yang lebih dikenal sebagai pengamat telematika ini, Roy Suryo mengaku tegang sesaat sebelum dilantik Presiden SBY sebagai Menpora baru di Istana Negara.  Pelantikan Roy sebagai Menpora berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.5/P/2013 dilaksanakan hari ini tanggal 15/1/2012 sekitar pukul 15.00 di Istana Negara dihadiri anggota Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) resmi telah melantik Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) yang baru, Roy Suryo. Pelantikan diikuti seluruh anggota Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dan pejabat Tinggi Negara. Selain mengangkat Roy, Presiden juga sekaligus mengangkat Susilo Siswoutomo sebagai Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral berdasarkan Kepres No.8/M/2013.

Ada tiga tugas utama yang harus segera diselesaikan Suryo. Pertama, mengonsolidasikan Kemenpora, menyangkut lingkup tugasnya yang kini dalam perhatian publik dan dalam proses KPK, yaitu kasus Hambalang. Kedua, melanjutkan prestasi Menpora sebelumnya di ajang Sea Games. Ketiga, bekerja sama dengan KOI dan KONI untuk mengakhiri masalah PSSI.

Agar Roy bisa bekerja dengan maksimal untuk menyelesaikan berbagai masalah di Kemenpora, maka harus banyak konsultasi dengan stafnya. Selain itu, Roy  juga harus konsultasi dengan para pengamat olahraga untuk mengetahui apa saja kelemahan cabang olahraga yang ada di Indonesia saat ini. Keraguan atas terpilihnya Roy Suryo juga disampaikan Sapto Nugroho, anggota Jakmania-supporter fanatic klub Persija Jakarta. Menurut Sapto, terpilihnya Roy Suryo untuk duduk menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga tidak tepat. Akibatnya berbagai permasalahan yang membelenggu Kemenpora tidak akan bisa selesai.

SBY memang selalu bikin kejutan dengan memilih Roy untuk mengisi posisi Menpora yang kosong pasca pengunduran diri Andi Mallarangeng. Sebagian masyarakat, menaganggap kabar Roy Suryo sebagai Menpora hanya sebatas isu dan guyonan. SBY seharusnya dapat memilih orang yang mengetahui masalah di Kemenpora dan dapat bertindak cekatan. "Negara ini perlu Presiden dan pejabat cerdas, tahu masalah, bertindak cepat dan tepat. Komitmen pada negara dan integritas pribadi harus tinggi. Negara kok diurus dengan cara main-main dan eksperimen.

Terpilihnya Roy Suryo memang menimbulkan pro-kontra. Apalagi, lelaki Yogyakarta, 18 Juli 1968 ini sangat awam terhadap dunia olahraga. Lelaki bernama lengkap Kanjeng Raden Mas Tumenggung Roy Suryo Notodiprojo ini berlatar belakang telematika, sangat jauh dari semangat olahraga yang dipenuhi keringat. Roy Surya datang dari komunitas pencinta klub AC Milan yang bernama Milanisti Indonesia. Pengamatan Divisi Event Milanisti Indonesia, Ibnul Fadli sangat meragukan dengan kemampuan Roy Suryo memimpin Kementerian Pemuda dan Olahraga. Apalagi saat ini di Kemenpora tengah diguncang berbagai masalah seperti tersangkut masalah pembangunan pusat pelatihan olahraga Hambalang, prestasi olahraga Indonesia juga terus menurun dan dualisme di tubuh PSSI. Saya ragu dengan kemampuan Roy Suryo. Basic-nya Roy Suryo bukan dari organisasi kepemudaan.

Sejumlah organisasi kepemudaan (OKP) yang bernaung di bawah Kemenpora, sebelumnya menganjurkan Presiden, sosok Menpora ke depan harus lebih bisa fokus pada bidangnya dan bersih dari persoalan politik, apalagi terindikasi korupsi. Mereka pun sudah mengantongi nama-nama ideal pengganti Andi. Pertama, mantan Ketua Umum DPP KNPI yang saat ini sedang menjabat sebagai wakil presiden Pemuda Dunia, Ahmad Dolly Kurnia. Kedua, Aziz Syamsuddin yang pernah menjabat sebagai Ketua DPP KNPI.

SBY harusnya mempertimbangkan nama-nama sosok muda yang memiliki kemampuan di dunia kepemudaan. Lebih baik memilih figur berdasarkan kemampuannya, bukan didasarkan pada logika bagi-bagi kue kekuasaan. Begitu juga figur muda Aris Mandji yang saat ini aktif sebagai Ketua Dewan pembina Perhimpunan Organisasi Kepemudaan Nasional (Poknas). Selain memliki track record jelas di dunia kepemudaan karena berhasil mengurai persoalan dualisme KNPI, Aris juga pernah menjadi atlet taekwondo tingkat nasional. "Beberapa nama itu harusnya menjadi pertimbangan SBY". Karena bagaimanapun, pemilihan menteri adalah hak prerogatif presiden.

Ada sepuluh OKP yang ikut bersepakat dalam pernyataan tersebut. Mereka adalah Generasi Muda Sriwijaya (GMS), Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), Gerakan Pemuda Indonesia (GPI), Generasi Muda Pembangunan (GMP), Persaudaraan Pemuda Etnis Nusantara (PENA), Komunitas Muda Telematika Indonesia (KOMTI), Generasi Muda Warga Jaya Indonesia (GM Wargajaya), Angkatan Muda Tarekat Islam (AMTI), Generasi Muda Kiara (GM Kiara), Generasi Muda Kasih Bangsa (GMKB) dan Wiramuda Nusantara.

Waktu sepertinya begitu cepat berputar. Tidak terasa, hanya dalam beberapa hari berselang, pengumuman pengunduran diri dari jabatan publik mulai bermunculan. Ini merupakan fenomena baru. Mengingat, kebiasaan seperti ini amat langka terjadi. Ini bukan Jepang yang mengenal kebiasaan harakiri. Atau seperti Negara maju yang pejabat publiknya langsung mundur walau skandalnya baru sekedar gossip atau berita di TV. Ini terjadi di republik yang kata orang, sebagian besar pejabatnya sudah putus urat malunya. Setelah Hakim Agung Achmad Yemani yang mengundurkan diri, giliran Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Andi Mallarangeng. Walaupun sebagian pihak menduga kemunduran dirinya adalah buntut perbuatan tidak terpujinya sebagai hakim agung. Andi terbilang lebih jujur, mengaku mundur karena sudah dicekal oleh KPK. Andi dicekal keluar negeri setelah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus pembangunan sarana olahraga di hambalang, Bogor.

Oleh KPK, Andi dinyatakan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas statusnya sebagai Menteri dan sebagai Pengguna Anggaran. Bersama Andi, dua orang lainnya yang juga dicekal adalah Zulkarnaen Mallarangeng dan Arif Taufiqurrahman. Andi harus merelakan kursi empuknya sebagai menteri yang masih mengurusi dualisme kepengurusan di PSSI itu. Bersamaan dengan itu pula, mantan Juru bicara Presiden itu pun mengundurkan diri dari jabatannya sebagai sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat.


Dalam surat pengunduran dirinya kepada presiden SBY, Andi menyebutkan tiga alasan yang mendasari dirinya mundur dari posisi sebagai menteri. Pertama, status cekal akan membuat dirinya tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai Menpora secara efektif. Kedua, ketidakefektifan dalam mengemban tugas sebagai Menpora ini akan mengganggu Kabinet Indonesia Bersatu II dan dikhawatirkan justru akan memberikan beban pada  Presiden dan Kabinet. Yang terakhir, Andi beralasan ingin berkonstrasi untuk menghadapi permasalahan hukum dan tuntutan hukum terhadapnya.

Kerasnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di tanah air, mau tidak mau, suka tidak suka, mantan menpora Andi harus mengikuti prosedur hukum yang menjerat dirinya. Posisinya sebagai menteri dan sekretaris Pembina di partai penguasa tak menjamin dirinya bebas dari sentuhan hukum. Jalan satu-satunya bagi Andi adalah membuktikannya di pengadilan, apakah bersalah atau tidak. Selain itu, Andi juga harus menanggung harga yang harus dibayar demi mempertahankan citra. Andi dan Partai Demokrat tentu sudah belajar bagaimana publik tak mau kompromi bagi siapa saja yang tersandung kasus hukum. Hanya satu pilihan, Mundur! Bila tidak, Andi akan terus mendapat tekanan dan kehilangan kredibelitasnya di mata publik. Sementara Partai Demokrat bila tak memecat Andi juga akan kehilangan citra dan elektabilitasnya, sesuatu yang tak diharapkan oleh Partai Demokrat setelah kasus yang selama ini menerpa para elitnya.

Dan oleh karena itu, Demokrat tentu tak mau semakin kehilangan banyak hal lagi walaupun di sisi lain bukan perkara mudah bagi Demokrat untuk melepas orang seperti Andi. Mengingat posisi Andi sangat strategis di Demokrat dan juga karena Andi merupakan salah satu orang kepercayaan sang ketua Dewan Pembina.

Akan tetapi, terlepas dari semua hitung-hitungan politis dan pribadi itu, langkah Andi untuk segera mundur tetap patut diapresiasi. Tindakan Andi bisa dibilang ibarat hujan di padang pasir. Walaupun jarang, namun tetap dinantikan sebagai habitus baru para pejabat publik.

Seperti kata Presiden SBY, Andi bisa menjadi contoh bagi pihak lain yang menghadapi kasus serupa. Kita tunggu saja, apakah ada pejabat lain yang melakukan tindakan serupa. Hal lain yang patut diapresiasi dari tindakan Andi ini adalah karena pilihannya itu berdampak baik pada pengusutan dan pengungkapan fakta pada kasus tersebut. Raut muka Presiden SBY tampak tenang meski menteri dari partainya, Demokrat, Andi Mallarangeng mengundurkan diri sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) dan Sekretaris Dewan Pembina karena terbelit jerat Hambalang.Andi bisa lebih berkonsentrasi, KPK pun tentu akan lebih leluasa dalam menjalankan prosedur hukumnya.

Partai Demokrat yang merasa partainya kerap dipojokan dan dijadikan sasaran pemberantasan korupsi, sudah membayar harga yang sangat mahal akibat ulah segelintir elit yang terjerat kasus dan sebagian lain tetap ngotot tidak mau mundur. Karena saat ini banyak kadernya teribat berbagai kasus korupsi, yakni mulai Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Hartati Murdaya, dan yang paling telak Andi Alvian Malarangeng. Itu tidak bisa lepas dari akibat kader Parai Demokrat yang terlibat korupsi.

Partai Demokrat yakin Roy dapat menjalankan tugas sebagai pengganti Andi Mallarangeng. Pak Roy akan membawa nama menteri dari Demokrat. Pak Roy harus dapat mengatasi persoalan-persoalan yang tertunda dan krusial. Masalah tersebut antara lain kisruh PSSI, serta sinergi dengan KONI. "Menpora harus bisa jelaskan kepada masyarakat". Kini tinggal bagaimana Roy bekerja untuk mengatasi berbagai masalah di Kemenpora.


Roy cuma pakar telekomunikasi, Kemenpora di tangan Roy Suryo justru akan menimbulkan banyak masalah. Apalagi kiprah Roy Suryo di olahraga juga sangat minim. Roy lebih di kenal selalu memberikan analisanya mengenai kajian teknis, terutama foto-foto vulgar beberapa artis yang beredar. Roy menjadi nara sumber favorit bagi berbagai media untuk membuktikan foto-foto vulgar sang artis asli atau palsu. Di dunia maya, musuh Roy tidak sedikit, apalagi ketika dia menuduh para blogger adalah tukang tipu. Roy bahkan menuding bahwa defacing (mengubah halaman situs/website pihak lain) yang terjadi pada beberapa situs milik pemerintah dilakukan oleh para blogger dan hacker.

Diantara kekacauan di Kemenpora adalah terkait dualisme kepengurusan PSSI. Susah juga nebaknya, apa saja yang harus ditangani oleh Roy Suryo. Intinya agar kompetisi sepak bola tidak ada dualimes kepengurusan. Kalau ISL kan liga sudah lama terus resmi. Kalau LPI kan ibarat bayi baru lahir. Sekretaris Jenderal KPSI, Togar Manahan Nero, mengaku siap bertemu dengan Roy Suryo, menyinggung rencana sang menpora baru menemui KPSI dan PSSI. Togar menyatakan dari awal KPSI memang selalu berkomitmen menyelesaikan kisruh, termasuk menjalankan MoU. Sebagai warga negara yang baik, kami tentu akan memenuhi panggilan pemerintah. Mungkin Menpora baru ingin meminta penjelasan dan masukan.

Bola sekarang  ada di Pak Roy, jangan sampai lahirkan kontroversi, semua tindakan harus berikan keuntungan bagi masyarakat. 

SBY harusnya dapat mengoptimalkan sisa waktu masa pemerintahannya untuk bekerja lebih serius. Tinggal 1 tahun lebih SBY memerintah. Prinsipnya Presiden bisa angkat siapa saja yg dia mau, jangan pemerintahannya berakhir dengan akhir yg buruk dengan  menggunakan eksperimen dalam mengambil keputusan atau memilih dan menentukan menteri, hal itu akan berdampak pada citra dan kinerja pemerintahan dan berdampak pada kinerja Presiden.

Selamat bertugas Pak Roy Suryo. Bangkitkan prestasi olahraga nasional dan selesaikan konflik sepak bola sampai kasus Hambalang. Buktikan dengan karya nyata.





ol