Sejak
reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu
yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila
seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan,
dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan
maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di tengah denyut kehidupan
bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan
berpolitik.
Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita
menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang
demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan
demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan
bersama, Di manakah Pancasila kini berada?
Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila
telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak
jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga
demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila
harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai
dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti
di satu titik terminal sejarah.
Amnesia nasional tentang pentingnya kehadiran Pancasila
sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang
menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa,
agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai
dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh
problematika saat ini.
Enam puluh delapan tahun lalu pada 1 Juni 1945, untuk
pertama kalinya bapak pendiri bangsa, Sukarno, menyampaikan pidato yang berisi
rumusan lima butir Pancasila. Kelima butir tersebut kemudian dirumuskan menjadi
dasar negara Indonesia.
.
Sepuluh
tahun kemudian, pada pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun
1955, Bung Karno menyampaikan pemikirannya tentang Pancasila di depan para
kepala negara. "Pancasila telah menginspirasi bangsa lain, ini adalah
prestasi sejarah kita, dan kita harus bangga,". Merdeka yang beliau sebut
dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau
sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.
Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di
tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang
mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat
infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan
kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi
mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural
ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan
teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi
yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan
menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.
Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman
dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran
komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya
menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi
politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak
sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.
Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan
untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas
sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di
tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Sebagai
sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam
tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan dalam
berbagai bidang kehidupan.
Reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius
dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi
yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila
menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi
Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat
baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat
Indonesia.
Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan
ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak
jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak
sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti
Pancasila" . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli
pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan
melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era
reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya
sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila
ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif
dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus
dilupakan.
Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai
bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon
fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi,
misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang
setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke
Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam
kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru,
neo-colonialism.
Oleh karena itu kita boleh gembira upaya Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang gencar menyosialisasikan kembali empat pilar
kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh
para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah
yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka
menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika
bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu
dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung
dalam keempat pilar kebangsaan tersebut. Empat pilar bernegara yang kadang rakyat tidak tahu
apa makna yang terkandung dalam manuskrip besar identitas bangsa ini.
Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar
kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai
weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam
keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan,
nilai permusyawaratan dan keadilan sosial. Nilai-nilai itu harus
diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan
berkembang di seluruh pelosok nusantara. Meskipun kita berbeda suku, agama,
adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan
menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.
Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai
Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar
negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di
tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah
diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis.
Demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai
bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai
Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahwa pancasila adalah sumbangsih bangsa ini kepada dunia.
"Karena itu kita harus bangga sebagai bangsa yang melahirkan “Pancasila”.
Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2013 saat ini, apa yang
sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi,
restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa
kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks,
baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang
tepat, terencana dan terarah.
Reformasi
dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita
menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa
dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk.
Dasar filofosis maha kuat mempertautkan bangsa yang bhineka
ini ke dalam keikaan yang kokoh. Berbagai suku bangsa kebudayaan, aneka agama
dan kepercayaan, serta variasi kelas sosial yang tinggi, diharuskan menemukan
cara yang adil dan berkeadaban sekaligus fondasi yang solid dalam mengelola
kemajemukan. Dari sudut politik dan etis, penemuan metode dan fondasi di atas
menjadi penting agar diversitas yang menjadi nature bangsa ini dapat menjadi
alasan dan kekuatan untuk hidup bersama secara harmonis, dan bukan sebaliknya
Di atas Pancasila rumah besar bagi setiap anak negeri telah dibangun. Di atas Pancasila, kewarga-negaraan sebagai prinsip dalam pengelolaan politik kenegaraan ditegakkan. Hidup sebagai suatu bangsa yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, hidup sejahtera, dan aman.
Di atas Pancasila rumah besar bagi setiap anak negeri telah dibangun. Di atas Pancasila, kewarga-negaraan sebagai prinsip dalam pengelolaan politik kenegaraan ditegakkan. Hidup sebagai suatu bangsa yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, hidup sejahtera, dan aman.
Di
Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2013, saya mengenang kembali kepada bpk Taufiq
Kiemas yang mengingatkan tentang intisari Pancasila yang memiliki akar kuat
dalam sejarah Indonesia. Nilai tersebut telah melekat dan dekat dengan subjektifitas
peradaban dan waktu di tanah air. Karena itu, ia mengharapkan, pesan moral
tersebut tidak hilang. Taufiq Kiemas berharap siapapun yang menggantikannya
tidak lupa dengan dasar negara yakni “Pancasila”.
Tanpa Rakyat Tak Berarti Apa-apa Itulah judul buku Taufiq
Kiemas, suami Presiden Megawati Soekarnoputri, yang diluncurkan pada saat
merayakan ulang tahunnya ke-60. Sebuah buku yang ditulisnya sendiri. sungguh
luar biasa kata-kata yang terdapat dalam buku tersebut
Buku yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan dan Panitia
Penerbitan Buku 60 Tahun Taufiq Kiemas dengan editor Panda Nababan ini terdiri
4 bab 832 halaman. Berisi pokok-pokok pikiran Taufiq Kiemas dan pandangan
cendekiawan, kerabat, dan sahabat, bahkan lawan politiknya. Benang merah pemikirannya
berujung pada asas kerakyatan.
Perhatian besar Taufiq Kiemas terhadap kehidupan rakyat
kecil dituangkan pada halaman 16-17. "Tanpa dukungan rakyat, aku tidak
akan jadi seperti sekarang ini," kata Taufiq. Dia memberi contoh
perjuangannya terhadap kehidupan rakyat kecil, yaitu, bersama beberapa kawannya
Aktivis GMNI, memelopori pembentukan koperasi tukang becak.Mula-mula mereka
menangani langsung manajemen koperasi dan bengkel becak itu. Tapi, setelah
jalan, diserahkan kepada para tukang becak sendiri.
Buku ini juga mengisahkan penangkapan Taufiq Kiemas dan
puluhan Aktivis GMNI Palembang pasca-tragedi 1965. Juga mengukir kisah
asmaranya dengan Megawati. Juga perihal pendampingannya selama Megawati dalam
perjalanan panjang kehidupannya dalam dunia politik. Antara lain saat naiknya
Megawati ke puncak kekuasaan, menyusul lengsernya KH Abdurrachman Wahid sebagai
Presiden RI pada pertengahan 2001.
Setelah reformasi, peran dan pengaruh Taufiq sangat
signifikan dalam menentukan arah dan peta perpolitikan di Indonesia. Bukan
semata-mata karena statusnya sebagai suami mantan Presiden Megawati
Soekarnoputri, tapi juga karena posisinya yang cukup sentral sebagai Ketua
Dewan Pertimbangan DPP PDI Perjuangan. Dia piawai memainkan perannya sebagai
aktor politik, lewat berbagai manuvernya yang telah mewarnai kanvas
perpolitikan negeri ini
Kini bapak empat pilar ini telah tiada,Taufiq Kiemas
meninggal dunia di Singapura pada tanggal 8 Juni 2013 pukul 19.05 waktu
setempat atau 18.05 WIB. Taufiq dirawat di salah satu rumah sakit di Negeri
Singa itu akibat kelelahan setelah menjalankan tugas Negara pada 1 Juni 2013 di
Ende, Nusa Tenggara Timur, dalam rangka memperingati kelahiran Pancasila.
Seorang tokoh yang bijaksana,yang dekat dengan rakyat, dan paling di hormati dengan
rakyat kini hanya bisa kita mengenangnya. Selamat
jalan pak taufik kemas. Kami semua menghormatimu dan merasakan kehilangan yang
sangat. Semoga engkau berada di surga dan berkumpul dengan orang-orang yang
sholeh di sana.
Artikel hari lahirnya Pancasila saya persembahkan kepada
Pak Taufiq Kiemas yang sudah berjasa kepada Bangsa Indonesia dengan rumusan
Empat Pilar Bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia sangat kehilangan putra terbaiknya. Dari lubuk hati yg terdalam, saya
ucapkan selamat jalan Pak Taufik Kiemas.
ol