Tak ada asap tanpa api, pepatah berbunyi.
Mencuatnya perilaku korup sejumlah pejabat BUMN diduga terjadi karena adanya
muatan kepentingan yang disisipkan dalam tubuh BUMN itu sendiri, sedari mula
pengangkatan para pejabatnya. Ketegangan antara Menteri Badan Uaha Milik Negara
(BUMN) Dahlan Iskan dengan DPR yang semakin ramai di media massa sedikit mereda
begitu Dahlan Iskan datang memenuhi undangan DPR. Para wakil rakyat di parlemen
seperti tidak sabar mendengar langsung keterangan mantan Dirut PLN ini soal nama-nama
anggota parlemen yang disebutnya suka kongkalikong atau sering minta jatah ke
perusahaan-perusahaan BUMN selama ini. Maka saya katakan BUMN
menjadi ajang politisasi dan ladang mencari uang untuk kepentingan partai.
Dahlan pun tak gentar, dia datang sendiri ke
DPR dan sangat siap untuk menyampaikan hal tersebut. Dahlan Iskan memenuhi
janjinya setelah diundang dia datang ke DPR. Soal "upeti" ini, Dahlan
bahkan tidak hanya berani pasang badan, di penjara sekalipun katanya menyatakan
siap.
Tipikal seorang Dahlan Iskan memang sudah
dikenal luas oleh publik. Gaya kepemimpinannya yang tegas tapi terukur,
terencana dan punya tujuan serta hasil yang sangat jelas, bahkan dia tidak
segan-segan untuk turun tangan langsung bekerja menyelesaikan masalah, termasuk
juga sosok pribadinya yang sangat low profile membuat Dahlan Iskan selalu
dikenang. Selama menjabat sebagai Dirut PLN misalnya, begitu banyak hasil kerja
yang bisa dinikmati rakyat. Walau ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
muncul inefisiensi anggaran Rp 37 triliun di PLN, tetapi Dahlan Iskan sangat
tahu itu, dan sangat siap memberi keterangan mengenai masalah tersebut. Bahkan
dia menyebutkan, sebenarnya inefisiensi itu lebih besar dari temuan BPK
dimaksud tetapi kenapa bisa terlewatkan. Nilainya lebih dari Rp 37 triliun.
Begitulah seorang Dahlan Iskan, keterbukaan, blak-blakan dan selalu menyatakan
berbuat dengan penuh rasa tanggung jawab. Tindakan dan keputusan yang diambilnya sudah
sangat siap dipertanggujawabkannya. Karena, apa yang dilakukannya sama sekali
bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kroni-kroninya, tetapi
semata-mata untuk rakyat dan untuk menjalankan amanah kerja yang dibebankan
kepadanya.
Lalu kita bertanya, bagaimana dengan para
pemimpin dengan kiprahnya sendiri-sendiri yang mau bertindak membela
kepentingan umum seperti dilakukan Dahlan Iskan? Termasuk soal pernyataan
bernada perintah yang disampaikannya kepada seluruh jajaran direksi BUMN yang
memunculkan ketegangan di DPR untuk menolak segala bentuk praktik kongkalikong,
yang selama ini sudah menjadi rahasia umum. Bahwa, perusahaan-perusahaan BUMN
menjadi sapi perah dan "ATM" banyak pihak, termasuk oknum anggota
DPR.
Anehnya, kalangan di DPR tidak terima dengan
pernyataannya. Ada yang minta Dahlan Iskan membuka saja nama-nama oknum yang
disebutnya suka meminta jatah ke BUMN itu supaya tidak menimbulkan fitnah. Ada
juga yang ingin memanggil paksa Dahlan Iskan ke parlemen untuk
mempertanggungjawabkan pernyataannya itu. Namun begitu, semakin gencar anggota DPR membela
diri, justru semakin memunculkan praduga, kenapa para wakil rakyat ini begitu
ngotot membela diri, sampai kebakaran jenggot segala? Bukankah yang disampaikan
Dahlan Iskan itu semata-mata untuk jajaran Kementerian BUMN yang dipimpinnya,
dan bertujuan untuk memperbaiki tatanan demi menjaga kebocoran-kebocoran
keuangan negara yang sudah masif terjadi selama ini?
Seorang Dahlan Iskan, yang
sudah dikenal dengan gaya bicara dan kepemimpinannya memang selalu ingin
perbaikan dan hasil yang lebih baik. Lantas, apa salahnya dengan pernyataan
Dahlan Iskan ini? Bukankah semestinya kalangan DPR yang harus lebih dewasa dan
melakukan introspeksi secara menyeluruh.
Kalau Dahlan Iskan benar-benar datang ke DPR
dan saat itu juga dia membeberkan semua bukti-bukti serta disebutkannya
nama-nama anggota DPR yang berprilaku tidak baik ini, seperti apalagi wajah
lembaga legislatif di mata rakyat? Bukankah itu akan mencoreng wajah DPR
sendiri?
Setelah sekian lama praktik kolusi dan korupsi
di negeri ini, baru Dahlan Iskan yang berani terang-terangan mengatakan bahwa
institusi yang dipimpinnya kerap dimintai "upeti" oleh para politisi
di Senayan.
Dulu, ini adalah hal yang jamak terjadi. Kalau
mau dapat proyek, ya harus bayar "jatah" dulu. Kini modus operandinya
kian canggih. Para anggota dewan tidak lagi minta uang tunai secara tersirat
ataupun terang-terangan. Sogokan itu bisa terselubung dalam berbagai topeng.
Bentuknya mulai dari biaya hotel, transportasi
dan honor anggota "Dewan Pemerasan Rakyat" hingga berkedok dana
corporate social responsibility di perusahaan-perusahaan yang tak lain juga
milik para legislator. Memeras, sama saja dengan korupsi bahkan lebih kasar.
Fenomena di atas ironis sekali. DPR yang
merupakan wakil rakyat, namun berperilaku seperti preman yang suka memeras,
menodong, memalak orang. Itu, tentu prilaku sangat memalukan. Apalagi, saat ini
kepercayaan masyarakat kepada anggota DPR semakin menurun. Masyarakat sudah
bosan dengan janji wakil rakyat, apalagi perilaku mereka justru seperti preman.
Hal ini diperparah lagi dengan banyaknya
anggota dewan terlibat korupsi. Ditambah kasus pemeran terhadap BUMN dan
pertarungan dengan Dahlan Iskan. Jika demikian, kapan masalah ini akan bisa
dituntaskan pemerintah?
Oleh karena itu, pemerintah harus
menyelamatkan BUMN, menindak tegas DPR yang berprilaku pemalak. Sepak terjang
politisasi dalam percaturan bisnis bukanlah kabar baik bagi kemajuan negeri
ini. UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak membenarkan adanya kader partai
politik menempati posisi strategis di BUMN. Secara resmi dalam UU BUMN, jelas
dikatakan, tidak boleh ada kader partai politik menjabat komisaris atau direksi
sebuah BUMN, itu sudah jelas. Kalau ada itu melanggar.
Masalah itu harus dibuka lebar-lebar agar menjadi
pelanjaran bagi semua pihak, agar ke depan BUMN bersih dan DPR juga bersih.
Jika tidak, dapat dipastikan pemerasan akan terus terjadi bahkan meluas di
mana-mana dan tidak pernah akan berhenti sebaliknya berulang terus dalam
berbagai kasus lain.
Pemberitaan terkait BUMN, khususnya yang menyangkut
hubungan kelembagaan BUMN (termasuk Kementerian BUMN) dengan DPR tampak
begitu dominan.
Di sisi lain, isu-isu yang menyangkut kinerja BUMN
seolah luput dari perhatian. Misalnya, apakah target laba BUMN tahun ini
sekitar Rp 145 triliun tercapai? Bagaimana perkembangan restruktur- isasi
BUMN, seperti rightsizing (termasuk pembentukan holding company),
privatisasi, serta likuidasi BUMN-BUMN yang sekarat?
Pada dasarnya, penting untuk memberikan perhatian
besar pada hal-hal yang menyangkut hubungan kelembagaan BUMN. Tentunya,
pembahasan ini semestinya menyangkut hal-hal yang substansial dan dengan
target yang terukur. Seperti pemberitaan media massa, saya kira pembahasan
isu hubungan kelembagaan ini masih sporadis dan cenderung politis. Banyak hal
yang lebih substansial yang semestinya menjadi fokus perhatian terkait dengan
pembenahan hubungan kelembagaan ini. Pembenahan hubungan kelembagaan BUMN ini
dapat kita lakukan pada tiga sisi, yaitu:
-Hubungannya dengan Kementerian Keuangan selaku
pemegang saham dan pemegang kekuasaan fiskal
-Dengan kementerian sektoral terkait
-Hubungannya dengan institusi nonpemerintah,
khususnya DPR
Perlu diketahui bahwa berdasarkan UU Keuangan
Negara, pemilik sesungguhnya BUMN adalah menteri Keuangan. Kemudian,
kepemilikan ini dikuasakan kepada menteri BUMN (melalui UU BUMN). Nah, model
hubungan kepemilikan seperti ini ternyata masih menyisakan masalah, sejauh
mana menteri BUMN dapat mengeksekusi seluruh kebijakan dalam konteks dirinya
sebagai pemegang kuasa kepemilikan BUMN?
Model hubungan kepemilikan seperti ini sejatinya
baik karena memisahkan antara hal-hal yang terkait dan aspek fiskal serta
korporasi BUMN. Tetapi, saya melihat bahwa proses birokrasinya perlu
disederhanakan dan diperjelas batas-batas kewenangannya. Karena, faktanya,
model ini masih menjadi penghambat proses restrukturisasi BUMN. Sebagai
contoh, proses restrukturisasi BUMN melalui program rightsizing. Kalau
pemerintah bersedia jujur, sesungguhnya belum mengalami kemajuan. Sedangkan,
rencana pembentukan holding BUMN lainnya masih terhambat, salah satunya
karena perizinan dari menteri Keuangan, termasuk pula proses birokrasi dalam
penentuan dividen.
Dividen BUMN merupakan penerimaan penting bagi APBN.
Karena itu, bagi APBN, penting adanya kepastian proyeksi penerimaan dividen
BUMN. Sedangkan, bagi BUMN juga penting adanya kepastian untuk kesinambungan
usaha, terutama untuk strategi bisnis ke depan. Karena itu, perlu dirumuskan
kembali bagaimana proses birokrasinya agar kepentingan yang sejatinya
bertolak belakang ini dapat ditemukan jalan keluar. Di luar masalah dividen,
sejumlah BUMN juga masih menghadapi masalah terkait dengan piutang negara di
BUMN (yang dulu disalurkan melalui subsidiary loan agreement/SLA). Beberapa
BUMN saat ini kondisinya sekarat. Salah satu penyebabnya adalah belum
terselesaikannya status SLA ini. Tingginya utang SLA menyebabkan BUMN terkait
tidak bankable sehingga sulit mendapatkan pendanaan eksternal. Mengapa,
misalnya, SLA ini tidak dikonversi menjadi (modal) ekuitas pemerintah?
Sehingga, melalui konversi ini, laporan keuangan BUMN menjadi sehat dan
terdapat ruang bagi BUMN untuk mendapatkan pendanaan eksternal.
Hubungan kelembagaan BUMN dengan kementerian
sektoral juga diperjelas. Ini mengingat, meski UU BUMN telah secara tegas
mengatur bahwa pengelolaan korporasi BUMN merupakan kewenangan menteri BUMN,
tetapi sesungguhnya "intervensi" sektoral ke dalam kebijakan
korporasi masih terasa. Hingga kini, sejumlah kementerian sektoral seolah
masih menempatkan dirinya sebagai pemilik BUMN. Padahal, sejak berlakunya UU
Keuangan Negara dan UU BUMN, pemilik BUMN adalah menteri Keuangan yang
dikuasakan kepada menteri BUMN, bukan lagi menteri sektoral.
Terakhir, terkait hubungan kelembagaan BUMN dengan
DPR, yang perlu diperjelas adalah sejauh mana DPR memiliki kewenangan masuk
dalam kebijakan BUMN. Apakah kewenangan DPR terhadap BUMN sampai ke level
kebijakan korporasi? Kurang baik bila DPR terlalu jauh masuk ke dalam hal-hal
teknis BUMN. Kebijakan korporasi BUMN semestinya merupakan kewenangan BUMN
karena merekalah yang lebih memiliki keahlian secara profesional untuk
menjalankan kebijakan korporasi. Saya berpendapat, akan lebih elegan bila DPR
fokus pada monitoring kinerja BUMN secara makro dan hal-hal yang menyangkut
fiskal yang terkait dengan BUMN, seperti penentuan dividen, privatisasi BUMN,
dan penyertaan modal negara (PMN). Hal lain terkait dengan hubungannya dengan
DPR adalah proses birokrasi terkait kebijakan privatisasi BUMN.
Kebijakan privatisasi BUMN kini masih menjadi
sorotan, khususnya yang menyangkut hasil privatisasi yang dinilai kurang
optimal. Dengan kewenangan besar yang dimiliki DPR saat ini dan
minimnya kontrol publik, yang menjadi celah politisi untuk mengeruk kekayaan
negara. Misal, besarnya kekuasaan Badan Anggaran DPR untuk mengatur
distribusi APBN. Dengan kekuasaan itu mereka bisa mengatur BUMN mana yang
akan mendapatkan proyek APBN dalam jumlah besar. Orientasi dan cara kerja
parpol di Indonesia belum berubah. Dimana, masih mengandalkan pendanaan yang
sumbernya dari kekayaan negara, baik yang diperoleh dengan cara legal maupun
ilegal.
Pemerasan terhadap perusahaan pelat merah bukanlah
hal baru, itu adalah cerita lama.
Apakah ada hal tersembunyi untuk Pemilu 2014?
ol
|