Laman

Sabtu, 03 November 2012

BUMN VERSUS DPR



 
Tak ada asap tanpa api, pepatah berbunyi. Mencuatnya perilaku korup sejumlah pejabat BUMN diduga terjadi karena adanya muatan kepentingan yang disisipkan dalam tubuh BUMN itu sendiri, sedari mula pengangkatan para pejabatnya. Ketegangan antara Menteri Badan Uaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan dengan DPR yang semakin ramai di media massa sedikit mereda begitu Dahlan Iskan datang memenuhi undangan DPR. Para wakil rakyat di parlemen seperti tidak sabar mendengar langsung keterangan mantan Dirut PLN ini soal nama-nama anggota parlemen yang disebutnya suka kongkalikong atau sering minta jatah ke perusahaan-perusahaan BUMN selama ini. Maka saya katakan BUMN menjadi ajang politisasi dan ladang mencari uang untuk kepentingan partai.
Dahlan pun tak gentar, dia datang sendiri ke DPR dan sangat siap untuk menyampaikan hal tersebut. Dahlan Iskan memenuhi janjinya setelah diundang dia datang ke DPR. Soal "upeti" ini, Dahlan bahkan tidak hanya berani pasang badan, di penjara sekalipun katanya menyatakan siap.

Tipikal seorang Dahlan Iskan memang sudah dikenal luas oleh publik. Gaya kepemimpinannya yang tegas tapi terukur, terencana dan punya tujuan serta hasil yang sangat jelas, bahkan dia tidak segan-segan untuk turun tangan langsung bekerja menyelesaikan masalah, termasuk juga sosok pribadinya yang sangat low profile membuat Dahlan Iskan selalu dikenang. Selama menjabat sebagai Dirut PLN misalnya, begitu banyak hasil kerja yang bisa dinikmati rakyat. Walau ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), muncul inefisiensi anggaran Rp 37 triliun di PLN, tetapi Dahlan Iskan sangat tahu itu, dan sangat siap memberi keterangan mengenai masalah tersebut. Bahkan dia menyebutkan, sebenarnya inefisiensi itu lebih besar dari temuan BPK dimaksud tetapi kenapa bisa terlewatkan. Nilainya lebih dari Rp 37 triliun.

Begitulah seorang Dahlan Iskan, keterbukaan, blak-blakan dan selalu menyatakan berbuat dengan penuh rasa tanggung jawab. Tindakan dan keputusan yang diambilnya sudah sangat siap dipertanggujawabkannya. Karena, apa yang dilakukannya sama sekali bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kroni-kroninya, tetapi semata-mata untuk rakyat dan untuk menjalankan amanah kerja yang dibebankan kepadanya.
Lalu kita bertanya, bagaimana dengan para pemimpin dengan kiprahnya sendiri-sendiri yang mau bertindak membela kepentingan umum seperti dilakukan Dahlan Iskan? Termasuk soal pernyataan bernada perintah yang disampaikannya kepada seluruh jajaran direksi BUMN yang memunculkan ketegangan di DPR untuk menolak segala bentuk praktik kongkalikong, yang selama ini sudah menjadi rahasia umum. Bahwa, perusahaan-perusahaan BUMN menjadi sapi perah dan "ATM" banyak pihak, termasuk oknum anggota DPR. 

Anehnya, kalangan di DPR tidak terima dengan pernyataannya. Ada yang minta Dahlan Iskan membuka saja nama-nama oknum yang disebutnya suka meminta jatah ke BUMN itu supaya tidak menimbulkan fitnah. Ada juga yang ingin memanggil paksa Dahlan Iskan ke parlemen untuk mempertanggungjawabkan pernyataannya itu. Namun begitu, semakin gencar anggota DPR membela diri, justru semakin memunculkan praduga, kenapa para wakil rakyat ini begitu ngotot membela diri, sampai kebakaran jenggot segala? Bukankah yang disampaikan Dahlan Iskan itu semata-mata untuk jajaran Kementerian BUMN yang dipimpinnya, dan bertujuan untuk memperbaiki tatanan demi menjaga kebocoran-kebocoran keuangan negara yang sudah masif terjadi selama ini? 

Seorang Dahlan Iskan, yang sudah dikenal dengan gaya bicara dan kepemimpinannya memang selalu ingin perbaikan dan hasil yang lebih baik. Lantas, apa salahnya dengan pernyataan Dahlan Iskan ini? Bukankah semestinya kalangan DPR yang harus lebih dewasa dan melakukan introspeksi secara menyeluruh.


Kalau Dahlan Iskan benar-benar datang ke DPR dan saat itu juga dia membeberkan semua bukti-bukti serta disebutkannya nama-nama anggota DPR yang berprilaku tidak baik ini, seperti apalagi wajah lembaga legislatif di mata rakyat? Bukankah itu akan mencoreng wajah DPR sendiri?

Setelah sekian lama praktik kolusi dan korupsi di negeri ini, baru Dahlan Iskan yang berani terang-terangan mengatakan bahwa institusi yang dipimpinnya kerap dimintai "upeti" oleh para politisi di Senayan.
Dulu, ini adalah hal yang jamak terjadi. Kalau mau dapat proyek, ya harus bayar "jatah" dulu. Kini modus operandinya kian canggih. Para anggota dewan tidak lagi minta uang tunai secara tersirat ataupun terang-terangan. Sogokan itu bisa terselubung dalam berbagai topeng.
Bentuknya mulai dari biaya hotel, transportasi dan honor anggota "Dewan Pemerasan Rakyat" hingga berkedok dana corporate social responsibility di perusahaan-perusahaan yang tak lain juga milik para legislator. Memeras, sama saja dengan korupsi bahkan lebih kasar.

Fenomena di atas ironis sekali. DPR yang merupakan wakil rakyat, namun berperilaku seperti preman yang suka memeras, menodong, memalak orang. Itu, tentu prilaku sangat memalukan. Apalagi, saat ini kepercayaan masyarakat kepada anggota DPR semakin menurun. Masyarakat sudah bosan dengan janji wakil rakyat, apalagi perilaku mereka justru seperti preman.
Hal ini diperparah lagi dengan banyaknya anggota dewan terlibat korupsi. Ditambah kasus pemeran terhadap BUMN dan pertarungan dengan Dahlan Iskan. Jika demikian, kapan masalah ini akan bisa dituntaskan pemerintah?

Oleh karena itu, pemerintah harus menyelamatkan BUMN, menindak tegas DPR yang berprilaku pemalak. Sepak terjang politisasi dalam percaturan bisnis bukanlah kabar baik bagi kemajuan negeri ini. UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak membenarkan adanya kader partai politik menempati posisi strategis di BUMN. Secara resmi dalam UU BUMN, jelas dikatakan, tidak boleh ada kader partai politik menjabat komisaris atau direksi sebuah BUMN, itu sudah jelas. Kalau ada itu melanggar.

Masalah itu harus dibuka lebar-lebar agar menjadi pelanjaran bagi semua pihak, agar ke depan BUMN bersih dan DPR juga bersih. Jika tidak, dapat dipastikan pemerasan akan terus terjadi bahkan meluas di mana-mana dan tidak pernah akan berhenti sebaliknya berulang terus dalam berbagai kasus lain.
Pemberitaan terkait BUMN, khususnya yang menyangkut hubungan kelembagaan BUMN (termasuk Kementerian BUMN) dengan DPR tampak begitu dominan. 
Di sisi lain, isu-isu yang menyangkut kinerja BUMN seolah luput dari perhatian. Misalnya, apakah target laba BUMN tahun ini sekitar Rp 145 triliun tercapai? Bagaimana perkembangan restruktur- isasi BUMN, seperti rightsizing (termasuk pembentukan holding company), privatisasi, serta likuidasi BUMN-BUMN yang sekarat? 

Pada dasarnya, penting untuk memberikan perhatian besar pada hal-hal yang menyangkut hubungan kelembagaan BUMN. Tentunya, pembahasan ini semestinya menyangkut hal-hal yang substansial dan dengan target yang terukur. Seperti pemberitaan media massa, saya kira pembahasan isu hubungan kelembagaan ini masih sporadis dan cenderung politis. Banyak hal yang lebih substansial yang semestinya menjadi fokus perhatian terkait dengan pembenahan hubungan kelembagaan ini. Pembenahan hubungan kelembagaan BUMN ini dapat kita lakukan pada tiga sisi, yaitu:
-Hubungannya dengan Kementerian Keuangan selaku pemegang saham dan pemegang kekuasaan fiskal
-Dengan kementerian sektoral terkait
-Hubungannya dengan institusi nonpemerintah, khususnya DPR 

Perlu diketahui bahwa berdasarkan UU Keuangan Negara, pemilik sesungguhnya BUMN adalah menteri Keuangan. Kemudian, kepemilikan ini dikuasakan kepada menteri BUMN (melalui UU BUMN). Nah, model hubungan kepemilikan seperti ini ternyata masih menyisakan masalah, sejauh mana menteri BUMN dapat mengeksekusi seluruh kebijakan dalam konteks dirinya sebagai pemegang kuasa kepemilikan BUMN? 

Model hubungan kepemilikan seperti ini sejatinya baik karena memisahkan antara hal-hal yang terkait dan aspek fiskal serta korporasi BUMN. Tetapi, saya melihat bahwa proses birokrasinya perlu disederhanakan dan diperjelas batas-batas kewenangannya. Karena, faktanya, model ini masih menjadi penghambat proses restrukturisasi BUMN. Sebagai contoh, proses restrukturisasi BUMN melalui program rightsizing. Kalau pemerintah bersedia jujur, sesungguhnya belum mengalami kemajuan. Sedangkan, rencana pembentukan holding BUMN lainnya masih terhambat, salah satunya karena perizinan dari menteri Keuangan, termasuk pula proses birokrasi dalam penentuan dividen.  

Dividen BUMN merupakan penerimaan penting bagi APBN. Karena itu, bagi APBN, penting adanya kepastian proyeksi penerimaan dividen BUMN. Sedangkan, bagi BUMN juga penting adanya kepastian untuk kesinambungan usaha, terutama untuk strategi bisnis ke depan. Karena itu, perlu dirumuskan kembali bagaimana proses birokrasinya agar kepentingan yang sejatinya bertolak belakang ini dapat ditemukan jalan keluar. Di luar masalah dividen, sejumlah BUMN juga masih menghadapi masalah terkait dengan piutang negara di BUMN (yang dulu disalurkan melalui subsidiary loan agreement/SLA). Beberapa BUMN saat ini kondisinya sekarat. Salah satu penyebabnya adalah belum terselesaikannya status SLA ini. Tingginya utang SLA menyebabkan BUMN terkait tidak bankable sehingga sulit mendapatkan pendanaan eksternal. Mengapa, misalnya, SLA ini tidak dikonversi menjadi (modal) ekuitas pemerintah? Sehingga, melalui konversi ini, laporan keuangan BUMN menjadi sehat dan terdapat ruang bagi BUMN untuk mendapatkan pendanaan eksternal. 

Hubungan kelembagaan BUMN dengan kementerian sektoral juga diperjelas. Ini mengingat, meski UU BUMN telah secara tegas mengatur bahwa pengelolaan korporasi BUMN merupakan kewenangan menteri BUMN, tetapi sesungguhnya "intervensi" sektoral ke dalam kebijakan korporasi masih terasa. Hingga kini, sejumlah kementerian sektoral seolah masih menempatkan dirinya sebagai pemilik BUMN. Padahal, sejak berlakunya UU Keuangan Negara dan UU BUMN, pemilik BUMN adalah menteri Keuangan yang dikuasakan kepada menteri BUMN, bukan lagi menteri sektoral.
Terakhir, terkait hubungan kelembagaan BUMN dengan DPR, yang perlu diperjelas adalah sejauh mana DPR memiliki kewenangan masuk dalam kebijakan BUMN. Apakah kewenangan DPR terhadap BUMN sampai ke level kebijakan korporasi? Kurang baik bila DPR terlalu jauh masuk ke dalam hal-hal teknis BUMN. Kebijakan korporasi BUMN semestinya merupakan kewenangan BUMN karena merekalah yang lebih memiliki keahlian secara profesional untuk menjalankan kebijakan korporasi. Saya berpendapat, akan lebih elegan bila DPR fokus pada monitoring kinerja BUMN secara makro dan hal-hal yang menyangkut fiskal yang terkait dengan BUMN, seperti penentuan dividen, privatisasi BUMN, dan penyertaan modal negara (PMN). Hal lain terkait dengan hubungannya dengan DPR adalah proses birokrasi terkait kebijakan privatisasi BUMN.

Kebijakan privatisasi BUMN kini masih menjadi sorotan, khususnya yang menyangkut hasil privatisasi yang dinilai kurang optimal.  Dengan kewenangan besar yang dimiliki DPR saat ini dan minimnya kontrol publik, yang menjadi celah politisi untuk mengeruk kekayaan negara. Misal, besarnya kekuasaan Badan Anggaran DPR untuk mengatur distribusi APBN. Dengan kekuasaan itu mereka bisa mengatur BUMN mana yang akan mendapatkan proyek APBN dalam jumlah besar. Orientasi dan cara kerja parpol di Indonesia belum berubah. Dimana, masih mengandalkan pendanaan yang sumbernya dari kekayaan negara, baik yang diperoleh dengan cara legal maupun ilegal.

Pemerasan terhadap perusahaan pelat merah bukanlah hal baru, itu adalah cerita lama.
Apakah ada hal tersembunyi untuk Pemilu 2014?

ol