Monumen Pers Nasional |
Sejarah Pers Indonesia
Pers Indonesia dimulai Sejak dibentuknya Kantor berita
ANTARA didirikan tanggal 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan
dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya
dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 agustus 1945.
Kantor berita Antara didirikan oleh Soemanang saat usia 29 tahun, A.M. Sipahoentar saat usia 23 tahun, Adam Malik saat berusia 20 tahun dan Pandu Kartawiguna.Adam Malik pada usia 21 tahun diminta untuk mengambil alih sebagai pimpinan ANTARA, dikemudian hari Ia menjadi orang penting dalam memberitakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Karena kredibilitasnya, Adam Malik setelah menduduki jabatan semula sebagai ketua Kantor berita Antara, ia diangkat sebagai Menteri Perdagangan, Duta Besar, Menteri Utama Bidang Politik, Menteri Luar Negeri, Presiden Sidang Majelis Umum PBB, Ketua DPR/MPR dan Wakil Presiden.
Kantor berita Antara didirikan oleh Soemanang saat usia 29 tahun, A.M. Sipahoentar saat usia 23 tahun, Adam Malik saat berusia 20 tahun dan Pandu Kartawiguna.Adam Malik pada usia 21 tahun diminta untuk mengambil alih sebagai pimpinan ANTARA, dikemudian hari Ia menjadi orang penting dalam memberitakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Karena kredibilitasnya, Adam Malik setelah menduduki jabatan semula sebagai ketua Kantor berita Antara, ia diangkat sebagai Menteri Perdagangan, Duta Besar, Menteri Utama Bidang Politik, Menteri Luar Negeri, Presiden Sidang Majelis Umum PBB, Ketua DPR/MPR dan Wakil Presiden.
KEMERDEKAAN PERS
Kemerdekaan pers dalam arti luas adalah pengungkapan
kebebasan berpendapat secara kolektif dari hak berpendapat secara individu yang
diterima sebagai hak asasi manusia.Masyarakat demokratis dibangun atas dasar
konsepsi kedaulatan rakyat, dan keinginan-keinginan pada masyarakat demokratis
itu ditentukan oleh opini publik yang dinyatakan secara terbuka. Hak
publik untuk tahu inilah inti dari kemerdekaan pers, sedangkan wartawan
profesional, penulis, dan produsen hanya pelaksanaan langsung. Tidak
adanya kemerdekaan pers ini berarti tidak adanya Hak Asasi Manusia (HAM).
Pembahasan RUU pers terakhir 1998 dan awal 1999 yang kemudian menjadi UU no. 40 Tahun 1999 tentang pers sangat gencar.Independensi pers, dalam arti jangan ada lagi campur tangan birokrasi terhadap pembinaan dan pengembangan kehidupan pers nasional juga diperjuangkan oleh kalangan pers. Komitmen seperti itu sudah diuslukan sejak pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI ) tahun 1946. Pada saat pembahasan RUU pers itu di DPR-RI, kalangan pers dengan gigih memperjuangkan independensi pers. Hasil perjuangan itu memang tercapai dengan bulatnya pendirian sehingga muncul jargon “biarkanlah pers mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi campur tangan birokrasi”. Aktualisasi keberhasilan perjuangan itu adalah dibentuknya Dewan Pers yang independen sebagaimana ditetapkan dalam UUD No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Kemerdekaan pers berasal dari kedaulatan rakyat dan digunakan sebagai perisai bagi rakyat dari ancaman pelanggaran HAM oleh kesewenang-wenangan kekuasaan atau uang. Dengan kemerdekaan pers terjadilah chek and balance dalam kehidupan bangsa dan bernegara. Kemerdekaan pers berhasil diraih, karena keberhasilan reformasi yang mengakhiri kekuasan rezim Orde Baru pada tahun 1998.
Ada 2 pengertian tentang pers, yaitu sbb :
1. Dalam arti sempit : Pers adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran, majalah, tabloid, dan buletin-buletin pada kantor berita.
2. Dalam arti luas : Pers mencakup semua media komunikasi, yaitu media cetak, media audio visual, dan media elektronik. Contohnya radio, televisi, film, internet, dsb.
PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu pers Kolonial, pers Cina, dan pers Nasional. Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda.
Pembahasan RUU pers terakhir 1998 dan awal 1999 yang kemudian menjadi UU no. 40 Tahun 1999 tentang pers sangat gencar.Independensi pers, dalam arti jangan ada lagi campur tangan birokrasi terhadap pembinaan dan pengembangan kehidupan pers nasional juga diperjuangkan oleh kalangan pers. Komitmen seperti itu sudah diuslukan sejak pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI ) tahun 1946. Pada saat pembahasan RUU pers itu di DPR-RI, kalangan pers dengan gigih memperjuangkan independensi pers. Hasil perjuangan itu memang tercapai dengan bulatnya pendirian sehingga muncul jargon “biarkanlah pers mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi campur tangan birokrasi”. Aktualisasi keberhasilan perjuangan itu adalah dibentuknya Dewan Pers yang independen sebagaimana ditetapkan dalam UUD No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Kemerdekaan pers berasal dari kedaulatan rakyat dan digunakan sebagai perisai bagi rakyat dari ancaman pelanggaran HAM oleh kesewenang-wenangan kekuasaan atau uang. Dengan kemerdekaan pers terjadilah chek and balance dalam kehidupan bangsa dan bernegara. Kemerdekaan pers berhasil diraih, karena keberhasilan reformasi yang mengakhiri kekuasan rezim Orde Baru pada tahun 1998.
Ada 2 pengertian tentang pers, yaitu sbb :
1. Dalam arti sempit : Pers adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran, majalah, tabloid, dan buletin-buletin pada kantor berita.
2. Dalam arti luas : Pers mencakup semua media komunikasi, yaitu media cetak, media audio visual, dan media elektronik. Contohnya radio, televisi, film, internet, dsb.
PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu pers Kolonial, pers Cina, dan pers Nasional. Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda.
Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers
Cina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda
yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina. Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama
orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini
bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan.
Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan
Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh
pemrakarsa pers Nasional.
Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sbb :
Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sbb :
- Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.
- Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.
- Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.
- Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.
- Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.
- Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.
- Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.
- Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.
- Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto
pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala
bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu.
Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi
masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan
ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini,
pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi
yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini
publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan
penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia.
Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan
opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini
mencerminkan keberhasilan tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers
Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu
sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media
massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain,
kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media
untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya
sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat
dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat
agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan,
digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal
itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan
hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif,
sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri
pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu
sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan
pandangan teori tanggung jawab sosial.
Menurut
pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang
tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan
asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal
ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah
manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran
mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga,
sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran,
manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang
disodorkan kepadanya. Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita
membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press).
Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media
massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan,
kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan
pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan
pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah
mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan
pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik
kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan
sasaran (publik media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena
ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers
harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang
diinginkan.
Gelombang reformasi 1998 berhasil membawa sejumlah perubahan signifikan di negara ini, termasuk kebebasan pers. Perusahaan pers pun bertumbuhan seiring dibukanya kran kebebasan. Tapi sampai 14 tahun sejak gelombang reformasi bergulir, ternyata pers Indonesia belum merdeka.
Fenomena saat ini konten pers mulai diintervensi pemilik media. “Sangat terlihat, terutama pada media televisi. Bagaimana stasiun televisi tertentu yang menggunakan frekwensi publik, memasukkan kepentingan politiknya untuk membentuk persepsi tertentu pada publik”.
Ini yang menurut saya harus dibatasi. Pemilik media tidak boleh, atau setidaknya dibatasi memasukkan muatan yang berkaitan dengan kepentingan politiknya karena menggunakan frekwensi publik.
Cara lain intervensi pemilik media yang membatasi kemerdekaan pers, juga bisa dilakukan dengan mekanisme seleksi berita pada redaksi. “Kalau konten pemberitaan terkait negatif dengan pemilik media, tidak dimuat. Atau kalau terlanjur dimuat, mendapat teguran dan hukuman dari atasan.
Inilah diantara penyebab yang diyakini dapat membuat Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia turun, dari 146 pada tahun 2011 menjadi 117 pada tahun 2012. Peringkat ini dirilis World Press Freedom Index 2012 yang dikeluarkan oleh Reporters Without Borders.
Selamat Hari Pers Nasional (HPN), yang jatuh pada 9 Februari 2013. Dalam iklim Demokrasi kini, opini publik sangat menentukan arah perubahan dan pers menjadi diantara alat yang efektif.
ol
Gelombang reformasi 1998 berhasil membawa sejumlah perubahan signifikan di negara ini, termasuk kebebasan pers. Perusahaan pers pun bertumbuhan seiring dibukanya kran kebebasan. Tapi sampai 14 tahun sejak gelombang reformasi bergulir, ternyata pers Indonesia belum merdeka.
Fenomena saat ini konten pers mulai diintervensi pemilik media. “Sangat terlihat, terutama pada media televisi. Bagaimana stasiun televisi tertentu yang menggunakan frekwensi publik, memasukkan kepentingan politiknya untuk membentuk persepsi tertentu pada publik”.
Ini yang menurut saya harus dibatasi. Pemilik media tidak boleh, atau setidaknya dibatasi memasukkan muatan yang berkaitan dengan kepentingan politiknya karena menggunakan frekwensi publik.
Cara lain intervensi pemilik media yang membatasi kemerdekaan pers, juga bisa dilakukan dengan mekanisme seleksi berita pada redaksi. “Kalau konten pemberitaan terkait negatif dengan pemilik media, tidak dimuat. Atau kalau terlanjur dimuat, mendapat teguran dan hukuman dari atasan.
Inilah diantara penyebab yang diyakini dapat membuat Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia turun, dari 146 pada tahun 2011 menjadi 117 pada tahun 2012. Peringkat ini dirilis World Press Freedom Index 2012 yang dikeluarkan oleh Reporters Without Borders.
Selamat Hari Pers Nasional (HPN), yang jatuh pada 9 Februari 2013. Dalam iklim Demokrasi kini, opini publik sangat menentukan arah perubahan dan pers menjadi diantara alat yang efektif.
ol