Laman

Sabtu, 01 Juni 2013

Hari Lahir Pancasila



 

Sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama, Di manakah Pancasila kini berada?
Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.
Amnesia nasional tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.


Enam puluh delapan tahun lalu pada 1 Juni 1945, untuk pertama kalinya bapak pendiri bangsa, Sukarno, menyampaikan pidato yang berisi rumusan lima butir Pancasila. Kelima butir tersebut kemudian dirumuskan menjadi dasar negara Indonesia.

.

Sepuluh tahun kemudian, pada pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, Bung Karno menyampaikan pemikirannya tentang Pancasila di depan para kepala negara. "Pancasila telah menginspirasi bangsa lain, ini adalah prestasi sejarah kita, dan kita harus bangga,". Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.

Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.

Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian?  Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.
Reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti Pancasila" . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism.

Oleh karena itu kita boleh  gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut. Empat pilar bernegara yang kadang rakyat tidak tahu apa makna yang terkandung dalam manuskrip besar identitas bangsa ini.

Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara. Meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.

Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bahwa pancasila adalah sumbangsih bangsa ini kepada dunia. "Karena itu kita harus bangga sebagai bangsa yang melahirkan “Pancasila”.

Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2013 saat ini, apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah.

Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk.

Dasar filofosis maha kuat mempertautkan bangsa yang bhineka ini ke dalam keikaan yang kokoh. Berbagai suku bangsa kebudayaan, aneka agama dan kepercayaan, serta variasi kelas sosial yang tinggi, diharuskan menemukan cara yang adil dan berkeadaban sekaligus fondasi yang solid dalam mengelola kemajemukan. Dari sudut politik dan etis, penemuan metode dan fondasi di atas menjadi penting agar diversitas yang menjadi nature bangsa ini dapat menjadi alasan dan kekuatan untuk hidup bersama secara harmonis, dan bukan sebaliknya

Di atas Pancasila rumah besar bagi setiap anak negeri telah dibangun. Di atas Pancasila, kewarga-negaraan sebagai prinsip dalam pengelolaan politik kenegaraan ditegakkan. Hidup sebagai suatu bangsa yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, hidup sejahtera, dan aman.

Di Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2013, saya mengenang kembali kepada bpk Taufiq Kiemas yang mengingatkan tentang intisari Pancasila yang memiliki akar kuat dalam sejarah Indonesia. Nilai tersebut telah melekat dan dekat dengan subjektifitas peradaban dan waktu di tanah air. Karena itu, ia mengharapkan, pesan moral tersebut tidak hilang. Taufiq Kiemas berharap siapapun yang menggantikannya tidak lupa dengan dasar negara yakni “Pancasila”. 
 

Tanpa Rakyat Tak Berarti Apa-apa Itulah judul buku Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati Soekarnoputri, yang diluncurkan pada saat merayakan ulang tahunnya ke-60. Sebuah buku yang ditulisnya sendiri. sungguh luar biasa kata-kata yang terdapat dalam buku tersebut

Buku yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan dan Panitia Penerbitan Buku 60 Tahun Taufiq Kiemas dengan editor Panda Nababan ini terdiri 4 bab 832 halaman. Berisi pokok-pokok pikiran Taufiq Kiemas dan pandangan cendekiawan, kerabat, dan sahabat, bahkan lawan politiknya. Benang merah pemikirannya berujung pada asas kerakyatan.

Perhatian besar Taufiq Kiemas terhadap kehidupan rakyat kecil dituangkan pada halaman 16-17. "Tanpa dukungan rakyat, aku tidak akan jadi seperti sekarang ini," kata Taufiq. Dia memberi contoh perjuangannya terhadap kehidupan rakyat kecil, yaitu, bersama beberapa kawannya Aktivis GMNI, memelopori pembentukan koperasi tukang becak.Mula-mula mereka menangani langsung manajemen koperasi dan bengkel becak itu. Tapi, setelah jalan, diserahkan kepada para tukang becak sendiri.

Buku ini juga mengisahkan penangkapan Taufiq Kiemas dan puluhan Aktivis GMNI Palembang pasca-tragedi 1965. Juga mengukir kisah asmaranya dengan Megawati. Juga perihal pendampingannya selama Megawati dalam perjalanan panjang kehidupannya dalam dunia politik. Antara lain saat naiknya Megawati ke puncak kekuasaan, menyusul lengsernya KH Abdurrachman Wahid sebagai Presiden RI pada pertengahan 2001.

Setelah reformasi, peran dan pengaruh Taufiq sangat signifikan dalam menentukan arah dan peta perpolitikan di Indonesia. Bukan semata-mata karena statusnya sebagai suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, tapi juga karena posisinya yang cukup sentral sebagai Ketua Dewan Pertimbangan DPP PDI Perjuangan. Dia piawai memainkan perannya sebagai aktor politik, lewat berbagai manuvernya yang telah mewarnai kanvas perpolitikan negeri ini


Kini bapak empat pilar ini telah tiada,Taufiq Kiemas meninggal dunia di Singapura pada tanggal 8 Juni 2013 pukul 19.05 waktu setempat atau 18.05 WIB. Taufiq dirawat di salah satu rumah sakit di Negeri Singa itu akibat kelelahan setelah menjalankan tugas Negara pada 1 Juni 2013 di Ende, Nusa Tenggara Timur, dalam rangka memperingati kelahiran Pancasila. Seorang tokoh yang bijaksana,yang dekat dengan rakyat, dan paling di hormati dengan rakyat kini hanya bisa kita mengenangnya. Selamat jalan pak taufik kemas. Kami semua menghormatimu dan merasakan kehilangan yang sangat. Semoga engkau berada di surga dan berkumpul dengan orang-orang yang sholeh di sana.


Artikel hari lahirnya Pancasila saya persembahkan kepada Pak Taufiq Kiemas yang sudah berjasa kepada Bangsa Indonesia dengan rumusan Empat Pilar Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sangat kehilangan  putra terbaiknya. Dari lubuk hati yg terdalam, saya ucapkan selamat jalan Pak Taufik Kiemas.

ol