Pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada April 2012. Sebuah kebijakan yang pastinya akan menuai pro-kontra di masyarakat, sebagaimana beberapa tahun terakhir. Hanya, penting bagi kita untuk melihat jauh ke depan mengenai rencana kenaikan ini. Apa sebenarnya yang melandasi dan mengapa ini harus dilakukan? Satu faktor dominan adalah ada kenaikan harga minyak mentah dunia sehingga kondisi itu mengubah asumsi harga minyak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012. Sebagaimana kita ketahui, saat penyusunan APBN asumsi terhadap harga minyak mentah Indonesia (ICP) di APBN sekitar USD 90 per barel.
Sementara saat ini harga ICP terus merangkak naik ke level USD115 per barel. Hal ini karena perkembangan perekonomian global penuh dengan ketidakpastian. Salah satunya krisis ekonomi Eropa yang belum dapat diatasi hingga gejolak politik di sejumlah negara Timur Tengah yang terus memanas. Belum lagi penghentian ekspor minyak Iran ke Eropa. Ini semua pada akhirnya mengakibatkan sentimen negatif sehingga melambungkan harga minyak dunia.
Pilihan Realistis
Faktor eksternal itulah yang memengaruhi asumsi yang ada dalam APBN 2012 sehingga harus disesuaikan agar ekonomi nasional tidak mengalami tekanan lebih jauh.Padahal kinerja ekonomi kita akhir akhir ini terus membaik. Namun, sekali lagi, ancaman harga minyak dunia membuat kita harus sigap dan cekatan memilih kebijakan yang tepat. Pemerintah harus merespons perkembangan ini dan mengembangkan berbagai opsi dan kebijakan untuk mengatasinya dengan tujuan menyelamatkan APBN serta kondisi fiskal.
Di antaranya melalui percepatan penetapan APBN-P atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu juga menetapkan kembali asumsi yang realistis, termasuk kebijakan subsidi dan harga BBM. Kebijakan ini secara jangka pendek memang mungkin agak memberatkan. Namun, dalam jangka panjang kebijakan menaikkan harga BBM akan menyelamatkan perekonomian bangsa secara keseluruhan. Sebagaimana disinggung di atas bahwa isu BBM harus dimaknai rasional, pada konteks itu kenaikan dan penurunan harga juga merupakan sesuatu yang biasa. Jika kita reviu lebih jauh, selama era pemerintahan SBY, BBM telah mengalami tiga kali kenaikan harga, tetapi sekaligus tiga kali pula pernah mengalami penurunan harga. Penurunan di antaranya pada Oktober 2008 dan Januari 2009.
Kenaikan BBM hanya dilakukan semata-mata karena situasi yang semakin sulit dan upaya untuk menyelamatkan kepentingan bangsa yang lebih besar. Jika situasi sudah terkendali, harga minyak pun nyatanya bisa turun. Isu BBM sama dengan isu lainnya bahwa semua bisa berubah seiring kondisi ekonomi nasional dan global. Justru yang terkadang kelihatan aneh apabila kita terjebak pada “sakralisasi” BBM masyarakat dipaksa menerima asumsi bahwa kita kaya minyak dan tak seharusnya harga naik.
Negara Terbebani
Opsi menaikkan harga jual bahan bakar minyak bersubsidi menjadi salah
satu cara pemerintah untuk menyelamatkan masyarakat miskin. Pasalnya,
mereka selama ini tersisihkan tak bisa menikmati manisnya subsidi. Sebab
subsidi yang digelontorkan pemerintah itu habis disedot masyarakat
kalangan menengah atas. Dengan kenaikan bensin itu, dana subsidi
bisa dialihkan untuk pembangunan nasional.
Pemerintah tak akan memiliki dana yang cukup untuk membangun sarana dan
fasilitas bagi masyarakat jika harga BBM tidak dinaikkan. “Maka kita
sama saja tidak menyediakan dana yang cukup untuk pendidikan, untuk
membangun rumah sakit, untuk membangun infrastruktur, untuk KUR (kredit
usaha rakyat), irigasi pertanian. Semua uang tersedot untuk subsidi
minyak yang jumlahnya sudah mendekati 20 persen dari APBN kita.
Sehingga, tidak benar bila ada yang beranggapan kebijakan penyesuaian
harga bensin subsidi akan merugikan masyarakat. Jika
harga minyak bersubsidi dibiarkan tidak berubah, sedangkan tingkat harga
minyak telah berada di kisaran USD 120 per barel tersebut akan
menghabiskan dana APBN dan lagi-lagi subsidi jatuh kepada masyarakat
mampu.
”Ingat, 70 persen subsidi kita yang ratusan triliun itu dinikmati
bukan oleh masyarakat yang lemah miskin, tapi masyarakat kita yang
realtif mampu, sebagian besar habis dikendaraan roda empat.
Intinya, kebijakan kenaikan BBM tersebut mutlak dilakukan karena
bertujuan menyelamatkan kondisi perekonomian nasional secara
keseluruhan.
Melambungnya harga minyak mentah dunia, memberikan
tekanan terhadap fiskal yang luar biasa. Pasalnya, dalam APBN 2012
asumsi harga minyak Indonesia (ICP) hanya dipatok USD 90 per barel. Dan
setiap kenaikan USD 1 itu artinya subsidi BBM sama dengan Rp 2,9 ribu.
“Bisa kita kalikan Rp 2,9 ribu dengan USD 118 (harga rata-rata ICP)
dikurang USD 90. Kalikan. Sekian puluh triliun yang harus kita tambah.
Belum lagi yang indirect yang sangat membebani ekonomi Indonesia.
Tahun ini pemerintah meramalkan kondisi perekonomian global belum
akan membaik sehingga diambillah kebijakan-kebijakan seperti melakukan
perubahan pada UU APBN 2012 dan mengoreksi asumsi-asumsi yang sudah
tidak tepat, misalnya ICP, lifting minyak, nilai tukar rupiah, yang itu
artinya BBM harus dinaikkan. Diakui, menaikkan bensin subsidi memang
bukalnlah pilihan yang populer.
Hanya saja, jika itu tidak dilakukan akan membahayakan perekonomian
nasional. Begitu terlihat fiscal policy tidak kredibel dan tekanan
terlalu besar, maka yang terkena yakni market confident , di mana dalam
seketika investor akan lari sehingga akan memukul pasar modal,
investasi, pasar SUN, SBN, yang secara keseluruhan bisa menyulitkan
perekonomian.
Bahwa orang berteori, kenapa dinaikkan, toh kita bisa mengisi
defisit dengan menaikkan cukai, dan manaikkan ini, mengurangi itu
sehingga kita mendapatkan dana untuk menutup itu. Sepertinya iya, tapi
perekonomian bukan hanya fiskal. Kendati demikian,
pemerintah tidak ingin ada pukulan terhadap masyarakat miskin.
Sebagai perlindungan atas kenaikan tersebut, pemerintah berencana
memberikan bantalan kompensasi, di mana lebih dari 18,5 juta atau 30
persen masyarakat terbawah bakal menerima bantuan langsung. “Dana
kompensasi akan diambilkan dari pemotongan anggaran kementerian dan
lembaga sebagai bentuk sharing participation dan dana-dana tersebut kita
berikan kepada masyarakat yang terkena dampak agar mereka tidak
terpukul.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri
Kementerian Perindustrian Dedi Mulyadi menambahkan dampak paling besar
karena kenaikan itu akan diterima oleh industri logam besi dan baja
yaitu dengan output negatif sebesar -1,32 persen apabila BBM naik 33
persen dan TDL 10 persen, sementara apabila BBM naik 44 persen dan TDL
10 persen maka output untuk industri tersebut sebesar -1,39 persen.
“Untuk kenaikan harga BBM 33 persen dan TDL 10 persen, akan
menyebabkan produk domestik bruto (PDB) riil nasional turun sebesar
-0,163 persen. Menurutnya, penurunan PDB tersebut
dipengaruhi oleh penurunan konsumsi rumah tangga sebesar -0,160 persen,
penurunan ekspor -0,221 persen, dan penurunan investasi -0,160 persen.
Sementara bila BBM naik 44 persen dan TDL 10 persen akan menyebabkan
PDB riil nasional turun sebesar -0,184 persen, yang dipengaruhi oleh
penurunan konsumsi rumah tangga sebesar -0,179 persen, penurunan ekspor
-0,254 persen, dan penurunan investasi -0,179 persen. “Dalam dua kondisi
tersebut, akan mengakibatkan inflasi sebesar 0,429 persen jika BBM naik
33 persen dan TDL 10 persen, untuk kenaikan BBM sebesar 44 persen dan
TDL 10 persen akan menyumbangkan inflasi sebesar 0,504 persen.
Dalam kesimpulan dari kajian yang dilakukan Kementerian Perindustrian
tersebut menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM khususnya premium baik
sebesar 33 atau 44 persen akan berdampak langsung pada peningkatan biaya
transportasi sebesar 19,6 dan 23,8 persen. Di bagian lain, Menteri
Perdagangan Gita Wirjawan juga mengaku, kenaikan tidak berdampak besar
terhadap ekspor nasional.
Bahkan pihaknya tetap yakin dengan arget nilai ekspor tahun ini
sebesar USD 230 miliar. “Kita tetap coba meningkatkan atau mengelola
ekspor kita walaupun ada kemungkinan kenaikan harga BBM. Kita sudah
hitung sensitivitasnya terhadap ekspor itu tidak terlalu besar karena
ada dua unsur. Pertama, tentunya biaya meningkat itu harus dibebani ke
produsen dan konsumen. Tentunya itu akan mengurangi kapasitas ekspor.
Mungkin isu demikian tak lebih sebagai jargon politik karena faktanya kita bukanlah negara kaya minyak sehingga tak bisa dengan sendirinya “mengendalikan” harga BBM. Pemerintah pun menyadari sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kenaikan BBM dalam jangka pendek akan berdampak pada masyarakat. Bagi masyarakat menengah ke atas, kita tentu tak perlu khawatir karena mereka memiliki kemampuan untuk melakukan adaptasi. Yang harus dipikirkan adalah kelompok menengah ke bawah, khususnya yang masuk pada kategori extreme poverty mereka harus segera diberikan bantuan agar tetap memiliki kemampuan daya beli sehingga tidak jatuh pada kondisi yang lebih buruk.
Bukan Pencitraan
Untuk itu, dalam konteks membantu masyarakat yang sangat miskin terkait kenaikan BBM, pemerintah akan mengambil kebijakan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Bantuan ini berupa cash transfer sebesar Rp150.000 per bulan bagi masyarakat miskin. Selain dana tunai, BLSM lain juga diberikan dalam bentuk raskin, subsidi siswa miskin, dan subsidi untuk mengelola angkutan umum dan angkutan desa.
Demi mendukung anggaran kompensasi untuk rakyat tersebut, akan dilakukan pengetatan anggaran departemen dan lembaga negara, dalam arti menunda atau membatalkan rencana belanja yang tidak benar-benar mendesak seperti fasilitas untuk pejabat, perawatan kendaraan, gedung, dan sebagainya. Selain itu,program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility / CSR) BUMN juga akan digalakkan. Jumlahnya cukup besar, sekitar Rp5 triliun. Presiden SBY memerintahkan agar CSR tersebut difokuskan pada upaya menolong rakyat miskin pasca kenaikan BBM. Tuduhan kebijakan BLSM sebagai bentuk image building Presiden atau pemerintah sama sekali tidak berdasar. Bagaimana mungkin Presiden SBY yang dipastikan tak akan lagi maju pada Pilpres 2014 terpikir untuk membangun citra dengan isu yang sensitif seperti kenaikan BBM?
Lebih dari itu, jika kita perhatikan akhir-akhir ini, ada kesan bahwa apa pun yang dilakukan Presiden selalu salah.Padahal jika kita menyimak sejumlah indikator beberapa tahun terakhir,sebagian besar indikator ekonomi makro menunjukkan bahwa bangsa ini telah mencapai banyak hal walaupun tetap ada pekerjaan rumah. Lihat saja prestasi Indonesia yang masuk pada kelompok negara-negara G-20 dengan kekuatan gross domestic product (GDP) kita di urutan ke-17 di dunia.
Mari kita lihat juga grafik kemiskinan dan pengangguran dalam lima tahun terakhir yang kecenderungannya terus menurun. Lalu juga kenaikan peringkat investasi Indonesia (investment grade) yang makin baik dari tahun ke tahun. Fakta ini sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa bangsa ini pada kondisi moving forward dan akan terus membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
ol
Senin, 19 Maret 2012
Kamis, 01 Maret 2012
MEWUJUDKAN INDONESIA DARI KASUS KORUPSI
Belakangan, semakin banyak pelaku korupsi
yang dibawa ke meja hijau. Meski demikian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengatakan, berat dan butuh waktu lama untuk memberantas korupsi ini.
Presiden juga menyatakan, selama tujuh tahun
terakhir, pemberantasan korupsi berjalan agresif. Semua dapat berjalan atas
kerja sama dan dukungan semua pihak, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi,
segenap jajaran penegak hukum, pers, dan organisasi antikorupsi.
Masih banyak kasus korupsi yang belum
terselesaikan karena menangani kasus korupsi memang tak semudah membalik
telapak tangan. Pelaksanaan pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen total
semua pihak untuk menegakkan hukum secara konsekuen dan konsisten.
Pada abad ke-21 telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional di seluruh
dunia. Jika di lihat dari sejarah korporasi di Indonesia, harus diakui bahwa sejak
pemerintah kolonial Belanda, VOC (Vereenigde
Oostindische Compagnie) sesungguhnya adalah sekumpulan badan usaha Belanda
yang melakukan perluasan perdagangan ke Nusantara dan beberapa daerah jajahan
lainnya.
Korporasi dalam abad globalisasi saat ini dilandaskan pada aliran liberalisme
yang meyakini bahwa korporasi harus diberikan ruang gerak berbisnis tanpa
hambatan. Harapannya adalah dunia usaha yang baik tanpa KKN (korupsi,kolusi,dan
nepotisme) akan berdampak pada peningkatan devisa negara dan pada gilirannya
akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat di negerinya. Pernyataan ini seakan tampak sempurna, tetapi dalam kenyataan berbeda jauh sekali karena selain terdapat korporasi yang sungguh-sungguh melaksanakan prinsip good corporate governance (GCG), terdapat juga korporasi yang berselimut legitimitas, tetapi beraktivitas kejahatan.Korporasi semacam ini dikenal dengan berbagai istilah,corporate crime atau business crime, dan berasal dari korporasi yang didirikan oleh organisasi kejahatan (mafia).
Kondisi ini terutama terjadi di AS sejak 1950-an sampai saat ini, juga di Jepang dengan Yakuza dan di beberapa negara lain termasuk Indonesia. Kehidupan dan perkembangan korporasi di Indonesia kini didasarkan pada Undang- Undang (UU) RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sejak pendiriannya sampai pada perubahan anggaran dasar. Undang-undang 2007 telah mengatur tentang berbagai syarat pendirian bagi suatu perseroan terbatas antara lain nama dan tempat kedudukan perseroan,maksud dan tujuan,serta jumlah modal yang disetor.
Selain itu juga dalam akta pendirian tercantum sekurang-kurangnya nama dan alamat lengkap pendiri perorangan, direksi dan komisaris, kewarganegaraannya, juga nama pemegang saham perseroan tersebut. Semua data korporasi berbadan hukum tercatat pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM.Korporasi dalam Undang-Undang Antikorupsi Tahun 1999/2001 dan UU Antipencucian Uang Tahun 2010 adalah yang berbentuk badan hukum (perseroan terbatas) dan bukan berbadan hukum seperti organisasi masyarakat dan partai politik.
Keterlibatan Korporasi
Dalam praktik pemberantasan korupsi sejak 1960-an sampai saat ini 99% perkara korupsi selalu melibatkan korporasi di dalamnya baik sebagai pelaku maupun korporasi dijadikan kendaraan untuk melakukan korporasi atau menikmati keuntungan dari kejahatan. Fakta ini mencerminkan bahwa proses pendirian korporasi dan perubahan anggaran dasar memerlukan kajian ulang sehingga dapat dicegah korporasi bertentangan dengan maksud dan tujuan pendiriannya.
Korporasi dalam sistem hukum pidana telah diakui sebagai subjek hukum pidana yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana dan dijatuhi hukuman termasuk ormas dan partai politik yang terlibat dalam korupsi. Pertanggungjawaban pidana tersebut dibebankan pada direksi, dewan komisaris,dan pemegang saham sebagai peserta RUPS (rapat umum pemegang saham) atau kepada personel pengendali di dalam suatu korporasi.
Personel pengendali ini diartikan dalam UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
Merujuk pada UU RI Nomor 8 Tahun 2010 di atas,penyidikan dan pembuktian harta kekayaan yang diduga berasal dari korupsi termasuk antara lain tugas dan wewenang KPK sehingga dapat menyentuh personel pengendali korporasi, tidak hanya direksi atau anggota dewan komisaris atau pemegang saham korporasi.
Pertanggungjawaban pidana organ korporasi harus juga mempertimbangkan secara hati-hati ketentuan mengenai tanggung jawab perdata yang telah diatur dalam UU RI Nomor 40 Tahun 2007 agar tidak terkesan perkara perdata yang dikorupsikan.Pemiskinan koruptor termasuk korporasinya dapat lebih efektif jika UU Pencucian Uang digunakan secara optimal karena sasaran utama adalah aliran dana hasil korupsi baik kepada direksi, anggota dewan komisaris, dan personel pengendali.
Pemiskinan koruptor dan korporasi dapat diwujudkan jika tuntutan penuntut umum memasukkan ketentuan Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU RI Nomor 20 Tahun 2001.Aturan itu secara khusus mengatur masalah pidana penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dan pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana (perorangan atau korporasi).
Paradoks Korupsi
Setiap korupsi, di birokrasi mana pun,
sifatnya sama, yakni pemanfaatan jabatan oleh oknum pejabat untuk menguntungkan
diri sendiri atau kelompoknya. Perbuatan tersebut jelas menyimpang dari sumpah
jabatan ataupun hukum yang berlaku.
Dalam pandangan syariat, korupsi merupakan
pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja
dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah) dan
perampokan (nahb). Menurut pandangan ini, hukuman yang layak untuk koruptor
adalah potong tangan sampai dengan hukuman mati.
Korupsi telah didefinisikan dalam 13 pasal UU
Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, ada 30
bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan,
perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Dengan demikian, ada beberapa unsur penting untuk menentukan suatu perbuatan, termasuk tindak pidana korupsi. Mereka memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau kelompok dengan cara menyalahgunakan wewenang, memanfaatkan kesempatan, sarana, dan fasilitas. Ujungnya adalah kerugian keuangan negara.
Tindak pidana korupsi adalah perbuatan
mencuri dengan cara yang berbeda dari kejahatan jalanan (blue collar crime)
yang terang-terangan mencuri. Tindak pidana korupsi adalah kejahatan kerah
putih (white collar crime) dengan motif dan modus yang lebih canggih.
Sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi
seperti yang diatur dalam peraturan dan undang-undang sebenarnya cukup untuk
mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Namun, masih ada saja pihak yang
melakukan sehingga menimbulkan pertanyaan, apa yang menggoda dari korupsi
sehingga orang melampaui batas takutnya terhadap ancaman sanksi pidana?
Realitas Sosial
Tatkala ancaman pidana tidak lagi menakutkan,
kita tidak hanya mesti meninjau ulang kebijakan peradilan pidana tentang
korupsi, melainkan juga meneropong realitas sosial masyarakat Indonesia.
Kejahatan tampaknya dianggap sebagai solusi untuk menghilangkan kecemasan dalam
menghadapi masa depan.
Sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi
memiliki latar pendidikan tinggi. Kebetulan, dalam kekuasaan terdapat sudut
yang menggoda (power seduction), yakni kekuasaan diskresi (discretionary
power), suatu jenis kekuasaan untuk menggunakan kewenangan. Dalam konstelasi
itulah koruptor menyelewengkan jabatan. Bersamaan dengan pelaksanaan kebijakan
untuk kepentingan publik, dengan mudah diselipkan pula niatan untuk menarik
keuntungan pribadi atau kelompok. Agar terhindar dari jeratan hukum, teknik
pencurian dipercanggih.
Di sini juga terjadi transformasi modus operandi korupsi, termasuk menebar jaringan pertanggungjawaban (distribution of responsibility) sehingga tersusun semacam kleptokrasi, yakni birokrasi yang korup.
Dalam kekuasaan menjalankan jabatan memang
terdapat paradoks. Pada satu sisi kekuasaan dibatasi oleh hukum, pada sisi lain
sengaja dilepas dan diserahkan pada otoritas individu pejabat. Apabila
kekuasaan diskresi dipersempit atau diperketat, pejabat sulit mengambil
keputusan karena sempitnya pilihan bertindak, menghadapi keadaan yang
senantiasa mengalami perubahan. Sebaliknya, apabila diskresi longgar, ada
potensi terjadi tindakan yang melampaui batas wewenang (excess du pouvoir) yang
berujung korupsi.
Batasan diskresi dan diskriminasi tipis. Jika
pejabat amanah, ia tak akan tergoda oleh kekuasaan diskresi sebesar apa pun,
bahkan juga oleh ketidakpastian kondisi ekonomi ke depan.
Jabatan juga meningkatkan kebutuhan yang
semula tak ada, termasuk untuk menopang atribut kekuasaan dan biaya pengganti
dukungan untuk mempertahankan kekuasaan. Seperti dikatakan Durkheim (1965),
seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, meningkat pula keinginan. Semakin
banyak yang terpenuhi, semakin terasa kurang dan kian takut kehilangan. Dengan
kata lain, nafsu (serakah) juga menjadi pendorong ketakutan pada ancaman
ekonomi.
Tindak pidana korupsi tidak dapat dipandang sebelah mata. Kecemasan akan hilangnya kenikmatan lebih menjadi momok daripada sanksi pidana. Karena masalah bersumber pada materi, pendekatan materialis pragmatis menjadi pilihan utama.
Pertimbangan rasional tersebut menjadi
indikator bahwa pelaku korupsi sama persepsinya dengan pelaku kejahatan
properti dari golongan tak mampu, yakni menjadikan kejahatan yang dilakukan
bersifat fungsional: sebagai solusi persoalan.
Dengan demikian, karena ditempatkan sebagai
jalan keluar, korupsi senantiasa diusahakan, dicari, dan dibudidayakan dalam
sistem yang memungkinkan kejahatan dilaksanakan.
Dalam situasi kompetisi dan akselerasi seperti sekarang, tak sedikit pikiran orang yang menyerupai teori Charles Darwin, yaitu menganggap bahwa yang kuat akan bertahan. Sayangnya, lagi-lagi kuat itu diidentikkan dengan kaya karena kekayaan merupakan wujud paling nyata untuk memberikan rasa aman pada masa depan.
Dengan demikian, dalam kaitan menjadikan
korupsi sebagai solusi, inkonsistensi penyelenggaraan fungsi lembaga negara
beserta aparat di dalamnya dapat membahayakan seluruh elemen dan sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka, pemberantasan korupsi harus
dilakukan secara tegas dan menyeluruh.
Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Pasal 12 UU KPK bahkan
memberikan kewenangan untuk memerintahkan pemblokiran, meminta data kekayaan
dan data perpajakan tersangka perorangan dan korporasinya. KPK juga bias
menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan
perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan,lisensi,serta konsesi
yang dilakukan atau dimiliki tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan
bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi.
Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap kasus-kasus korupsi, hal ini di tandai dengan langkah KPK menetapkan Miranda S Gultom dalam skandal pemilihan Deputi Senior Gubernur BI dan terakhir penetapan Anggota Komisi IX Angelina Sondakh sebagai tersangka dalam Kasus Wisma Atlet. Penetapan tersebut merupakan harapan baru dalam penuntasan kasus-kasus korupsi sekaligus membuktikan keberanian dan janji ketua KPK, Abraham Samad. Langkah Abraham Samad ini patut kita dukung. Saya kira ini akan merembet ke orang - orang penting lainnya. Bagian lainnya, saya juga mengingatkan kepada abraham samad untuk berhati-hati dalam setiap tindakan dan perkataan karena berani menempatkan menjadi musuh utama koruptor. Ingat kasus Munir !
ol
Langganan:
Postingan (Atom)