Laman

Senin, 19 Maret 2012

Mengapa BBM Naik ?

Pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada April 2012. Sebuah kebijakan yang pastinya akan menuai pro-kontra di masyarakat, sebagaimana beberapa tahun terakhir. Hanya, penting bagi kita untuk melihat jauh ke depan mengenai rencana kenaikan ini. Apa sebenarnya yang melandasi dan mengapa ini harus dilakukan? Satu faktor dominan adalah ada kenaikan harga minyak mentah dunia sehingga kondisi itu mengubah asumsi harga minyak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012. Sebagaimana kita ketahui, saat penyusunan APBN asumsi terhadap harga minyak mentah Indonesia (ICP) di APBN sekitar USD 90 per barel.

Sementara saat ini harga ICP terus merangkak naik ke level USD115 per barel. Hal ini karena perkembangan perekonomian global penuh dengan ketidakpastian. Salah satunya krisis ekonomi Eropa yang belum dapat diatasi hingga gejolak politik di sejumlah negara Timur Tengah yang terus memanas. Belum lagi penghentian ekspor minyak Iran ke Eropa. Ini semua pada akhirnya mengakibatkan sentimen negatif sehingga melambungkan harga minyak dunia.

Pilihan Realistis
Faktor eksternal itulah yang memengaruhi asumsi yang ada dalam APBN 2012 sehingga harus disesuaikan agar ekonomi nasional tidak mengalami tekanan lebih jauh.Padahal kinerja ekonomi kita akhir akhir ini terus membaik. Namun, sekali lagi, ancaman harga minyak dunia membuat kita harus sigap dan cekatan memilih kebijakan yang tepat. Pemerintah harus merespons perkembangan ini dan mengembangkan berbagai opsi dan kebijakan untuk mengatasinya dengan tujuan menyelamatkan APBN serta kondisi fiskal.

Di antaranya melalui percepatan penetapan APBN-P atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu juga menetapkan kembali asumsi yang realistis, termasuk kebijakan subsidi dan harga BBM. Kebijakan ini secara jangka pendek memang mungkin agak memberatkan. Namun, dalam jangka panjang kebijakan menaikkan harga BBM akan menyelamatkan perekonomian bangsa secara keseluruhan. Sebagaimana disinggung di atas bahwa isu BBM harus dimaknai rasional, pada konteks itu kenaikan dan penurunan harga juga merupakan sesuatu yang biasa. Jika kita reviu lebih jauh, selama era pemerintahan SBY, BBM telah mengalami tiga kali kenaikan harga, tetapi sekaligus tiga kali pula pernah mengalami penurunan harga. Penurunan di antaranya pada Oktober 2008 dan Januari 2009.

Kenaikan BBM hanya dilakukan semata-mata karena situasi yang semakin sulit dan upaya untuk menyelamatkan kepentingan bangsa yang lebih besar. Jika situasi sudah terkendali, harga minyak pun nyatanya bisa turun. Isu BBM sama dengan isu lainnya bahwa semua bisa berubah seiring kondisi ekonomi nasional dan global. Justru yang terkadang kelihatan aneh apabila kita terjebak pada “sakralisasi” BBM masyarakat dipaksa menerima asumsi bahwa kita kaya minyak dan tak seharusnya harga naik.

Negara Terbebani

Opsi menaikkan harga jual bahan bakar minyak bersubsidi menjadi salah satu cara pemerintah untuk menyelamatkan masyarakat miskin. Pasalnya, mereka selama ini tersisihkan tak bisa menikmati manisnya subsidi. Sebab subsidi yang digelontorkan pemerintah itu habis disedot masyarakat kalangan menengah atas. Dengan kenaikan bensin itu, dana subsidi bisa dialihkan untuk pembangunan nasional.
Pemerintah tak akan memiliki dana yang cukup untuk membangun sarana dan fasilitas bagi masyarakat jika harga BBM tidak dinaikkan. “Maka kita sama saja tidak menyediakan dana yang cukup untuk pendidikan, untuk membangun rumah sakit, untuk membangun infrastruktur, untuk KUR (kredit usaha rakyat), irigasi pertanian. Semua uang tersedot untuk subsidi minyak yang jumlahnya sudah mendekati 20 persen dari APBN kita.

Sehingga, tidak benar bila ada yang beranggapan kebijakan penyesuaian harga bensin subsidi akan merugikan masyarakat. Jika harga minyak bersubsidi dibiarkan tidak berubah, sedangkan tingkat harga minyak telah berada di kisaran USD 120 per barel tersebut akan menghabiskan dana APBN dan lagi-lagi subsidi jatuh kepada masyarakat mampu.

”Ingat, 70 persen subsidi kita yang ratusan triliun itu dinikmati bukan oleh masyarakat yang lemah miskin, tapi masyarakat kita yang realtif mampu, sebagian besar habis dikendaraan roda empat. Intinya, kebijakan kenaikan BBM tersebut mutlak dilakukan karena bertujuan menyelamatkan kondisi perekonomian nasional secara keseluruhan.
Melambungnya harga minyak mentah dunia, memberikan tekanan terhadap fiskal yang luar biasa. Pasalnya, dalam APBN 2012 asumsi harga minyak Indonesia (ICP) hanya dipatok USD 90 per barel. Dan setiap kenaikan USD 1 itu artinya subsidi BBM sama dengan Rp 2,9 ribu. “Bisa kita kalikan Rp 2,9 ribu dengan USD 118 (harga rata-rata ICP) dikurang USD 90. Kalikan. Sekian puluh triliun yang harus kita tambah. Belum lagi yang indirect yang sangat membebani ekonomi Indonesia.

Tahun ini pemerintah meramalkan kondisi perekonomian global belum akan membaik sehingga diambillah kebijakan-kebijakan seperti melakukan perubahan pada UU APBN 2012 dan mengoreksi asumsi-asumsi yang sudah tidak tepat, misalnya ICP, lifting minyak, nilai tukar rupiah, yang itu artinya BBM harus dinaikkan. Diakui, menaikkan bensin subsidi memang bukalnlah pilihan yang populer.
Hanya saja, jika itu tidak dilakukan akan membahayakan perekonomian nasional. Begitu terlihat fiscal policy tidak kredibel dan tekanan terlalu besar, maka yang terkena yakni market confident , di mana dalam seketika investor akan lari sehingga akan memukul pasar modal, investasi, pasar SUN, SBN, yang secara keseluruhan bisa menyulitkan perekonomian.

Bahwa orang berteori, kenapa dinaikkan, toh kita bisa mengisi defisit dengan menaikkan cukai, dan manaikkan ini, mengurangi itu sehingga kita mendapatkan dana untuk menutup itu. Sepertinya iya, tapi perekonomian bukan hanya fiskal. Kendati demikian, pemerintah tidak ingin ada pukulan terhadap masyarakat miskin.
Sebagai perlindungan atas kenaikan tersebut, pemerintah berencana memberikan bantalan kompensasi, di mana lebih dari 18,5 juta atau 30 persen masyarakat terbawah bakal menerima bantuan langsung. “Dana kompensasi akan diambilkan dari pemotongan anggaran kementerian dan lembaga sebagai bentuk sharing participation dan dana-dana tersebut kita berikan kepada masyarakat yang terkena dampak agar mereka tidak terpukul.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Dedi Mulyadi menambahkan dampak paling besar karena kenaikan itu akan diterima oleh industri logam besi dan baja yaitu dengan output negatif sebesar -1,32 persen apabila BBM naik 33 persen dan TDL 10 persen, sementara apabila BBM naik 44 persen dan TDL 10 persen maka output untuk industri tersebut sebesar -1,39 persen. “Untuk kenaikan harga BBM 33 persen dan TDL 10 persen, akan menyebabkan produk domestik bruto (PDB) riil nasional turun sebesar -0,163 persen. Menurutnya, penurunan PDB tersebut dipengaruhi oleh penurunan konsumsi rumah tangga sebesar -0,160 persen, penurunan ekspor -0,221 persen, dan penurunan investasi -0,160 persen.
Sementara bila BBM naik 44 persen dan TDL 10 persen akan menyebabkan PDB riil nasional turun sebesar -0,184 persen, yang dipengaruhi oleh penurunan konsumsi rumah tangga sebesar -0,179 persen, penurunan ekspor -0,254 persen, dan penurunan investasi -0,179 persen. “Dalam dua kondisi tersebut, akan mengakibatkan inflasi sebesar 0,429 persen jika BBM naik 33 persen dan TDL 10 persen, untuk kenaikan BBM sebesar 44 persen dan TDL 10 persen akan menyumbangkan inflasi sebesar 0,504 persen.

Dalam kesimpulan dari kajian yang dilakukan Kementerian Perindustrian tersebut menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM khususnya premium baik sebesar 33 atau 44 persen akan berdampak langsung pada peningkatan biaya transportasi sebesar 19,6 dan 23,8 persen. Di bagian lain, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan juga mengaku, kenaikan tidak berdampak besar terhadap ekspor nasional.
Bahkan pihaknya tetap yakin dengan arget nilai ekspor tahun ini sebesar USD 230 miliar. “Kita tetap coba meningkatkan atau mengelola ekspor kita walaupun ada kemungkinan kenaikan harga BBM. Kita sudah hitung sensitivitasnya terhadap ekspor itu tidak terlalu besar karena ada dua unsur. Pertama, tentunya biaya meningkat itu harus dibebani ke produsen dan konsumen. Tentunya itu akan mengurangi kapasitas ekspor.

Mungkin isu demikian tak lebih sebagai jargon politik karena faktanya kita bukanlah negara kaya minyak sehingga tak bisa dengan sendirinya “mengendalikan” harga BBM. Pemerintah pun menyadari sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kenaikan BBM dalam jangka pendek akan berdampak pada masyarakat. Bagi masyarakat menengah ke atas, kita tentu tak perlu khawatir karena mereka memiliki kemampuan untuk melakukan adaptasi. Yang harus dipikirkan adalah kelompok menengah ke bawah, khususnya yang masuk pada kategori extreme poverty mereka harus segera diberikan bantuan agar tetap memiliki kemampuan daya beli sehingga tidak jatuh pada kondisi yang lebih buruk.

Bukan Pencitraan

Untuk itu, dalam konteks membantu masyarakat yang sangat miskin terkait kenaikan BBM, pemerintah akan mengambil kebijakan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Bantuan ini berupa cash transfer sebesar Rp150.000 per bulan bagi masyarakat miskin. Selain dana tunai, BLSM lain juga diberikan dalam bentuk raskin, subsidi siswa miskin, dan subsidi untuk mengelola angkutan umum dan angkutan desa.

Demi mendukung anggaran kompensasi untuk rakyat tersebut, akan dilakukan pengetatan anggaran departemen dan lembaga negara, dalam arti menunda atau membatalkan rencana belanja yang tidak benar-benar mendesak seperti fasilitas untuk pejabat, perawatan kendaraan, gedung, dan sebagainya. Selain itu,program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility / CSR) BUMN juga akan digalakkan. Jumlahnya cukup besar, sekitar Rp5 triliun. Presiden SBY memerintahkan agar CSR tersebut difokuskan pada upaya menolong rakyat miskin pasca kenaikan BBM. Tuduhan kebijakan BLSM sebagai bentuk image building Presiden atau pemerintah sama sekali tidak berdasar. Bagaimana mungkin Presiden SBY yang dipastikan tak akan lagi maju pada Pilpres 2014 terpikir untuk membangun citra dengan isu yang sensitif seperti kenaikan BBM?

Lebih dari itu, jika kita perhatikan akhir-akhir ini, ada kesan bahwa apa pun yang dilakukan Presiden selalu salah.Padahal jika kita menyimak sejumlah indikator beberapa tahun terakhir,sebagian besar indikator ekonomi makro menunjukkan bahwa bangsa ini telah mencapai banyak hal walaupun tetap ada pekerjaan rumah. Lihat saja prestasi Indonesia yang masuk pada kelompok negara-negara G-20 dengan kekuatan gross domestic product (GDP) kita di urutan ke-17 di dunia.

Mari kita lihat juga grafik kemiskinan dan pengangguran dalam lima tahun terakhir yang kecenderungannya terus menurun. Lalu juga kenaikan peringkat investasi Indonesia (investment grade) yang makin baik dari tahun ke tahun. Fakta ini sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa bangsa ini pada kondisi moving forward dan akan terus membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. 

ol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar