Laman

Kamis, 01 Maret 2012

MEWUJUDKAN INDONESIA DARI KASUS KORUPSI


Belakangan, semakin banyak pelaku korupsi yang dibawa ke meja hijau. Meski demikian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, berat dan butuh waktu lama untuk memberantas korupsi ini.
Presiden juga menyatakan, selama tujuh tahun terakhir, pemberantasan korupsi berjalan agresif. Semua dapat berjalan atas kerja sama dan dukungan semua pihak, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, segenap jajaran penegak hukum, pers, dan organisasi antikorupsi.
Masih banyak kasus korupsi yang belum terselesaikan karena menangani kasus korupsi memang tak semudah membalik telapak tangan. Pelaksanaan pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen total semua pihak untuk menegakkan hukum secara konsekuen dan konsisten.

Pada abad ke-21 telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional di seluruh dunia. Jika di lihat  dari sejarah korporasi di Indonesia, harus diakui bahwa sejak pemerintah kolonial Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sesungguhnya adalah sekumpulan badan usaha Belanda yang melakukan perluasan perdagangan ke Nusantara dan beberapa daerah jajahan lainnya.
Korporasi dalam abad globalisasi saat ini dilandaskan pada aliran liberalisme yang meyakini bahwa korporasi harus diberikan ruang gerak berbisnis tanpa hambatan. Harapannya adalah dunia usaha yang baik tanpa KKN (korupsi,kolusi,dan nepotisme) akan berdampak pada peningkatan devisa negara dan pada gilirannya akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat di negerinya.
Pernyataan ini seakan tampak sempurna, tetapi dalam kenyataan berbeda jauh sekali karena selain terdapat korporasi yang sungguh-sungguh melaksanakan prinsip good corporate governance (GCG), terdapat juga korporasi yang berselimut legitimitas, tetapi beraktivitas kejahatan.Korporasi semacam ini dikenal dengan berbagai istilah,corporate crime atau business crime, dan berasal dari korporasi yang didirikan oleh organisasi kejahatan (mafia).

Kondisi ini terutama terjadi di AS sejak 1950-an sampai saat ini, juga di Jepang dengan Yakuza dan di beberapa negara lain termasuk Indonesia. Kehidupan dan perkembangan korporasi di Indonesia kini didasarkan pada Undang- Undang (UU) RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sejak pendiriannya sampai pada perubahan anggaran dasar. Undang-undang 2007 telah mengatur tentang berbagai syarat pendirian bagi suatu perseroan terbatas antara lain nama dan tempat kedudukan perseroan,maksud dan tujuan,serta jumlah modal yang disetor.

Selain itu juga dalam akta pendirian tercantum sekurang-kurangnya nama dan alamat lengkap pendiri perorangan, direksi dan komisaris, kewarganegaraannya, juga nama pemegang saham perseroan tersebut. Semua data korporasi berbadan hukum tercatat pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM.Korporasi dalam Undang-Undang Antikorupsi Tahun 1999/2001 dan UU Antipencucian Uang Tahun 2010 adalah yang berbentuk badan hukum (perseroan terbatas) dan bukan berbadan hukum seperti organisasi masyarakat dan partai politik.

Keterlibatan Korporasi
Dalam praktik pemberantasan korupsi sejak 1960-an sampai saat ini 99% perkara korupsi selalu melibatkan korporasi di dalamnya baik sebagai pelaku maupun korporasi dijadikan kendaraan untuk melakukan korporasi atau menikmati keuntungan dari kejahatan. Fakta ini mencerminkan bahwa proses pendirian korporasi dan perubahan anggaran dasar memerlukan kajian ulang sehingga dapat dicegah korporasi bertentangan dengan maksud dan tujuan pendiriannya.

Korporasi dalam sistem hukum pidana telah diakui sebagai subjek hukum pidana yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana dan dijatuhi hukuman termasuk ormas dan partai politik yang terlibat dalam korupsi. Pertanggungjawaban pidana tersebut dibebankan pada direksi, dewan komisaris,dan pemegang saham sebagai peserta RUPS (rapat umum pemegang saham) atau kepada personel pengendali di dalam suatu korporasi.

Personel pengendali ini diartikan dalam UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.

Merujuk pada UU RI Nomor 8 Tahun 2010 di atas,penyidikan dan pembuktian harta kekayaan yang diduga berasal dari korupsi termasuk antara lain tugas dan wewenang KPK sehingga dapat menyentuh personel pengendali korporasi, tidak hanya direksi atau anggota dewan komisaris atau pemegang saham korporasi.

Pertanggungjawaban pidana organ korporasi harus juga mempertimbangkan secara hati-hati ketentuan mengenai tanggung jawab perdata yang telah diatur dalam UU RI Nomor 40 Tahun 2007 agar tidak terkesan perkara perdata yang dikorupsikan.Pemiskinan koruptor termasuk korporasinya dapat lebih efektif jika UU Pencucian Uang digunakan secara optimal karena sasaran utama adalah aliran dana hasil korupsi baik kepada direksi, anggota dewan komisaris, dan personel pengendali.

Pemiskinan koruptor dan korporasi dapat diwujudkan jika tuntutan penuntut umum memasukkan ketentuan Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU RI Nomor 20 Tahun 2001.Aturan itu secara khusus mengatur masalah pidana penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dan pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana (perorangan atau korporasi).



Paradoks Korupsi
Setiap korupsi, di birokrasi mana pun, sifatnya sama, yakni pemanfaatan jabatan oleh oknum pejabat untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Perbuatan tersebut jelas menyimpang dari sumpah jabatan ataupun hukum yang berlaku.
Dalam pandangan syariat, korupsi merupakan pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Menurut pandangan ini, hukuman yang layak untuk koruptor adalah potong tangan sampai dengan hukuman mati.
Korupsi telah didefinisikan dalam 13 pasal UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, ada 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Dengan demikian, ada beberapa unsur penting untuk menentukan suatu perbuatan, termasuk tindak pidana korupsi. Mereka memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau kelompok dengan cara menyalahgunakan wewenang, memanfaatkan kesempatan, sarana, dan fasilitas. Ujungnya adalah kerugian keuangan negara.
Tindak pidana korupsi adalah perbuatan mencuri dengan cara yang berbeda dari kejahatan jalanan (blue collar crime) yang terang-terangan mencuri. Tindak pidana korupsi adalah kejahatan kerah putih (white collar crime) dengan motif dan modus yang lebih canggih.
Sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam peraturan dan undang-undang sebenarnya cukup untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Namun, masih ada saja pihak yang melakukan sehingga menimbulkan pertanyaan, apa yang menggoda dari korupsi sehingga orang melampaui batas takutnya terhadap ancaman sanksi pidana?

Realitas Sosial
Tatkala ancaman pidana tidak lagi menakutkan, kita tidak hanya mesti meninjau ulang kebijakan peradilan pidana tentang korupsi, melainkan juga meneropong realitas sosial masyarakat Indonesia. Kejahatan tampaknya dianggap sebagai solusi untuk menghilangkan kecemasan dalam menghadapi masa depan.
Sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi memiliki latar pendidikan tinggi. Kebetulan, dalam kekuasaan terdapat sudut yang menggoda (power seduction), yakni kekuasaan diskresi (discretionary power), suatu jenis kekuasaan untuk menggunakan kewenangan. Dalam konstelasi itulah koruptor menyelewengkan jabatan. Bersamaan dengan pelaksanaan kebijakan untuk kepentingan publik, dengan mudah diselipkan pula niatan untuk menarik keuntungan pribadi atau kelompok. Agar terhindar dari jeratan hukum, teknik pencurian dipercanggih.

Di sini juga terjadi transformasi modus operandi korupsi, termasuk menebar jaringan pertanggungjawaban (distribution of responsibility) sehingga tersusun semacam kleptokrasi, yakni birokrasi yang korup.
Dalam kekuasaan menjalankan jabatan memang terdapat paradoks. Pada satu sisi kekuasaan dibatasi oleh hukum, pada sisi lain sengaja dilepas dan diserahkan pada otoritas individu pejabat. Apabila kekuasaan diskresi dipersempit atau diperketat, pejabat sulit mengambil keputusan karena sempitnya pilihan bertindak, menghadapi keadaan yang senantiasa mengalami perubahan. Sebaliknya, apabila diskresi longgar, ada potensi terjadi tindakan yang melampaui batas wewenang (excess du pouvoir) yang berujung korupsi.
Batasan diskresi dan diskriminasi tipis. Jika pejabat amanah, ia tak akan tergoda oleh kekuasaan diskresi sebesar apa pun, bahkan juga oleh ketidakpastian kondisi ekonomi ke depan.
Jabatan juga meningkatkan kebutuhan yang semula tak ada, termasuk untuk menopang atribut kekuasaan dan biaya pengganti dukungan untuk mempertahankan kekuasaan. Seperti dikatakan Durkheim (1965), seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, meningkat pula keinginan. Semakin banyak yang terpenuhi, semakin terasa kurang dan kian takut kehilangan. Dengan kata lain, nafsu (serakah) juga menjadi pendorong ketakutan pada ancaman ekonomi.

Tindak pidana korupsi tidak dapat dipandang sebelah mata. Kecemasan akan hilangnya kenikmatan lebih menjadi momok daripada sanksi pidana. Karena masalah bersumber pada materi, pendekatan materialis pragmatis menjadi pilihan utama.
Pertimbangan rasional tersebut menjadi indikator bahwa pelaku korupsi sama persepsinya dengan pelaku kejahatan properti dari golongan tak mampu, yakni menjadikan kejahatan yang dilakukan bersifat fungsional: sebagai solusi persoalan.
Dengan demikian, karena ditempatkan sebagai jalan keluar, korupsi senantiasa diusahakan, dicari, dan dibudidayakan dalam sistem yang memungkinkan kejahatan dilaksanakan.

Dalam situasi kompetisi dan akselerasi seperti sekarang, tak sedikit pikiran orang yang menyerupai teori Charles Darwin, yaitu menganggap bahwa yang kuat akan bertahan. Sayangnya, lagi-lagi kuat itu diidentikkan dengan kaya karena kekayaan merupakan wujud paling nyata untuk memberikan rasa aman pada masa depan.
Dengan demikian, dalam kaitan menjadikan korupsi sebagai solusi, inkonsistensi penyelenggaraan fungsi lembaga negara beserta aparat di dalamnya dapat membahayakan seluruh elemen dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas dan menyeluruh.  
Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Pasal 12 UU KPK bahkan memberikan kewenangan untuk memerintahkan pemblokiran, meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka perorangan dan korporasinya. KPK juga bias menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan,lisensi,serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi.

Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap kasus-kasus korupsi, hal ini di tandai dengan langkah KPK menetapkan Miranda S Gultom dalam skandal pemilihan Deputi Senior Gubernur BI dan terakhir penetapan Anggota Komisi IX Angelina Sondakh sebagai tersangka dalam Kasus Wisma Atlet. Penetapan tersebut merupakan harapan baru dalam penuntasan kasus-kasus korupsi sekaligus membuktikan keberanian  dan janji ketua KPK, Abraham Samad. Langkah Abraham Samad ini patut kita dukung. Saya kira ini akan merembet ke orang - orang penting lainnya. Bagian lainnya, saya  juga mengingatkan kepada  abraham samad untuk berhati-hati dalam setiap tindakan dan perkataan karena berani menempatkan menjadi musuh utama koruptor. Ingat kasus Munir !

ol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar